Suatu senja di sebuah kampung di Ungaran. Hawa sejuk menjusup jauh ke dalam relung hati yang sedang berbunga meriah. Baru kali ini berkunjung ke rumah bunda gadis sekampus yang menjadi idamannya. Pohon apa gerangan yang berbuah bulat-bulat lebat menjuntai. Daunnya bulat panjang. Tinggi sepertinya lebih dari 10 meter, kurang dari 15 meter. Besar sekali, keliling batang melebihi pelukannya.
Bakti sebenarnya hampir tidak percaya, hari itu dia mempunyai keberanian untuk berkunjung ke rumah Diah. Walau sudah hampir 3 tahun mereka berkenalan, dan hampir setiap hari berangkat dan pulang kuliah bersama-sama. Menelusuri jalan Kebon Bibit-Bandung, tapi belum pernah ada suatu tindakan yang dia nyatakan bahwa mereka ada rasa spesial.
Mereka seakan seirama mengidamkan rasa lebih sering bersama, bahkan ingin selalu rindu. Entahlah, apakah takut, malu atau yang lain yang tidak bisa didefinisikan.
“Segera tembak aja Bak,” kata Anggoro, “Dari pada nanti ada yang mendahului.”
Bakti enggan menggubris kicauan Anggoro yang sepertinya sering menakut-nakuti, walaupun dia juga takut kehilangan Diah. Sebenarnya tak ada kekurangan Bakti dibandingkan teman-teman yang lain. Juga tak merasa kurang terhadap Diah yang sangat lugu dan pendiam. Hanya saja Bakti memang menikmati begini-begini saja.
Mereka sama-sama anak rantau, yang menuntut kuliah di Bandung. Bakti dari Jakarta dan Diah datang dari Jawa Tengah. Dalam kesehariannya Bakti lebih sering bergaul dengan teman-temannya dengan menggunakan panggilan “lu-gue”. Sedangkan Diah lebih sering menggunakan panggilan “aku-kamu”. Kelu sekali lidah Diah untuk menggunakan panggilan “lu-gue”, terasa kasar. Sedangkan Bakti merasa tersanjung, bila Diah menyebut dirinya sendiri sebagai aku. Dan memanggil dirinya dengan sebutan kamu.
Sebaliknya Bakti merasa malu menyatakan dirinya dengan aku, atau harus menyatakan panggilan dengan kamu. “Aku-kamu” di Jakarta, dilakukan jika sudah pernah menembak, maksudnya menembak manjadi kekasih.
Keterusan dalam panggilan dan keterusan dalam kedekatan, tak mengganggu Bakti dan Diah tetap saling menempel, bahkan semakin lengket.
Suatu hari, saat ada teman dari jurusan sama yang menyelanggarakan pernikahan di Ungaran, barulah Bakti permisi mampir ke rumah Diah disela-sela acara pernikahan teman. Tentu saja Diah merasa senang, diceritakan kepada bunda tentang kedatangan sahabatnya yang sekampus.
Tak lama singgah di rumah Diah, ada sesuatu yang menarik perhatian Bakti. Nenek Diah yang dijumpai sedang mencuci di sumur, dan ada aneh dalam cara mencuci kain batik.
Sang nenek duduk di depan batu besar, memukul-mukul buah kering yang berbusa jika diberi air. Lalu busa air tersebut digunakan untuk mencuci kain batik.