Tetapi ... tetapi, selepas SMP aku malu sendiri berpenampilan mbeluk. Aku merubah cara menggunakan skicare dengan cara yang sering digunakan oleh teman-teman. Aku menggunakan  Milk Cleanser--Face Tonic--Day Cream--bedak tabur, saat mau berangkat sekolah. Dan membersihkan lagi dengan Milk Cleanser--Face Tonic, setibanya di rumah. Aku memilih untuk kulit normal.
Setelah menikah, malahan aku mengganti lagi kebiasaan menggunakan skincare yang lebih sederhana, dan tetap tanpa ada masalah hingga sekarang. Aku menggunakan sabun wajah--day care--bedak tabur.
Dulu ... bila pergi pagi hari  pulang siang, aku akan membersihkan wajah dengan sabun saat mandi sore. Tapi sekarang ... sejak ada pandemi covid-19 sehabis pergi sebentar saja, pulangnya harus langsung mandi. Sekalian mengusir virus covid-19 dengan sabun, sekalian juga membersihkan muka dari day care-- bedak tabur.Â
Malam hari aku lebih senang berangkat tidur tanpa tambahan skincare jenis lain. Mencuci muka sambil berwudu, merebahkan badan, memejamkan mata dan merajut mimpi indah.
Suatu malam saat mata tak segera terpejam, aku bertanya kepada suami.
"Apakah dulu mengenal bedak dingin," tanyaku tanpa menceritakan masa lampau aku dalam penggunaan bedak dingin.
"Ya, penyawah ibu sering menggunakan bedak dingin," jawabnya, "Terutama pada saat metahari bersinar sangat terik."
"Bedak dingin yang berwarna putih menurut ilmu fisika yang dipelajari di SD menolak sinar matahari," sambungnya, "Dan warna hitam menyerap panas."
"Oh iya," kataku serasa di ingatkan.
Di TV aku juga pernah melihat, entah pendemo atau petugas yang membubarkan demo menggunakan coreng-moreng putih diwajahnya. Tapi kata penyiar TV saat itu menggunakan odol, sebagai pelindung wajah dari terik matahari.
Alangkah menariknya jika lain kali semua pendemo menggunakan bedak dingin. Jangan-jangan semua tuntutannya segera dipenuhi. Karena pihak yang di demo entah merasa takut atau geli, melihat ribuan pendemo dengan wajah mbeluk.Â