Ayah dan ibu hanya mencontoh saat mereka muda. Dengan usia yang sama 25 tahun, mereka menikah.
Lain bagi Yara dan Yardan, karena merasa adanya ketidak mapanan membuat Yardan mundur teratur. Ibunya berusaha membicarakan, bahwa bukan mapan dalam keuangan yang mereka harapkan. Tetapi adanya langkah-langkah yang menunjukkan keseriusan. Misalnya datangnya lamaran.Â
"Benar Yang, aku tidak tahu harus melangkah ke mana," kata Yardan, "Dengan bu Irna saja aku masih kucing-kucingan yang bukan tanpa resiko diskors atau dikeluarkan."
"Memang amit-amit, jangan sampai," sambungnya lagi.
Tangis Yara tidak bisa menahan langkah mundur Yardan. Inilah yang dinamakan, putus hubungan dengan kekasih. Menjadi jomlo pada usia 25 tahun. Atau lebih tepat menjadi jomlo lagi.
Ibu Yara sebenarnya juga sedih. Tak menyangka dibalik kesederhanaan yang cenderung amburadul, Yardan memiliki harga diri yang tidak bisa ditawar.
Yardan tidak bersalah, sikap mundur diambil karena ada rambu-rambu yang baru dipasang pihak orang tua Yara.Â
Sebuah rambu baru yang mengharuskan dia lebih hati-hati, dan merasa lebih baik merubah arah. Sebenarnya dari dulu dia sudah sangat berhat-hati, tiada kesalahan Yardan dalam menghadapi rambu-rambu percintaan secara umum.
Yardan hanya sedikit kacau dalam menghadapi rambu yang dipasang ibu Irna. Itu pun bukan karena ingin melawan, tetapi dia yakin negaranya tak akan sembarangan memutus mata rantai perjalanan pendidikan rakyatnya.
Tadinya sambil bekerja di bidangnya, bidang kesehatan di Jakarta, tanpa diketahui siapa-siapa Yara masih mengharap kehadiran Yardan.Â
Bahkan ada kalanya menunggu datangnya Yardan lain, tentunya jika memungkinkan.