Bagi Azkia alam raya seakan berwarna kelabu. Dia senantiasa terkenang cerita tentang sang nenek. Dan selalu timbul sebagai pertanyaan. Apakah benar?
Azkia adalah perempuan sederhana yang tinggal di pinggiran kota Malang. Setelah lulus dari jurusan Matematika di sebuah perguruan tinggi, bibi memanggilnya untuk menemani tinggal di rumah nenek.
Secara otomatis perjuangan berat selama kuliah dilupakan begitu saja. Azkia harus menemani bibi yang sekarang sebatang kara.Â
Yang masih menguntungkan Aisar, pacarnya selama kuliah masih menjadi jodohnya. Aisar menikah dengan Azkia, dan tidak keberatan tinggal bersama-sama menemani bibi di pinggiran kota Malang di kawasan Pecinan.
Sebenar-benarnya tak ada masalah bagi Aisar, di manapun dia tinggal. Cita-citanya hanya ingin menjadi guru, setelah lulus dari sebuah Institusi Pendidikan Keguruan. Sedikitpun dia tidak ingin salah profesi.Â
Kini bibi sudah tiada, mungkin sudah bertemu nenek di surga yang indah. Pada masa masih sehat, bibi memilih hidup bersama nenek dan tidak menikah.Â
Tetapi Azkia tidak tahu apakah tidak menikah itu memang pilihan bibi, atau tidak ada lelaki mau menikahi bibi.
Pertama kali Azkia tinggal bersama bibi, rumah peninggalan nenek sangatlah berantakan. Jorok tepatnya. Tapi jorok unik.Â
Maksudnya dalam banyak hal tidak terawat, tetapi soal tanaman anggrek sangat indah. Bibi mencintai tanaman anggrek, rajin menyiram dan merawat tanpa tambahan pupuk-pupuk . Sepertinya cukup dengan jiwanya saja.Â
Disela-sela hembusan angin kelabu di rumah nenek, tak jarang timbul rasa kasihan kepada bibinya.Â
Mengapa bibi tak menemukan seseorang untuk menjadi tambatan hati? Untuk sesekali menyandarkan kepala yang penuh pikiran di bahu seorang lelaki yang baik. Seperti aku memiliki mas Aisar.
Perlahan, terus dan pasti ... Azkia memberikan cinta yang ada dalam hati kepada bibi. Hidup sebagai yatim piatu, dia bersyukur menjadi pilihan bibi dari sekian banyak keponakan bibi. Walaupun akibatnya dia harus hidup di tempat yang bukan merupakan cita-citanya.Â
"Ini barang-barang nenek waktu memiliki pabrik kecap," kata bibi suatu hari sambil membuka sebuah ruang di bagian belakang rumah.
Ruang yang sangat gelap, tidak terawat. Azkia tidak tahu persis barang-barang apa saja yang ada di dalam ruangan. Gelap mendekati gulita. Ada instalasi listrik, tetapi entahlah bisa digunakan atau tidak.Â
"Apakah kamu berminat membuka pabrik kecap?" tanya bibi.Â
"Waduh, mana aku bisa bi," kata Azkia.
"Coba tanya kepada suami kamu dulu," kata bibi, "Siapa tahu dia berminat."
Waktu kecil saat ayah dan ibu masih ada, Azkia pernah dititip ke nenek dan bibi. Tak pernah tampak oleh Azkia bahwa neneknya mempunyai pabrik kecap.Â
Nenek yang sudah tua hanya tinggal di rumah, senang main dengan Azkia kecil. Main dakon, kartu, halma dan lain-lain.Â
Waktu senggangnya lebih sering digunakan untuk menginang dan istirahat, dan kadang-kadang ada tamu.
Menurut cerita bibi tentang nenek yang merupakan ibu kandungnya,"Dulu, ayah nenek adalah seorang penjual arang langganan kakek yang mempunyai pabrik kecap. Kecap cap potret yang zaman dulu sangat terkenal."
Bibi sambil menunjukkan foto botol kecap sebagai kenangan. Foto itu persis seperti 3 foto besar yang digantung di ruang tengah rumah.Â
Sejak masa kecil Azkia sudah tahu tentang 3 foto itu. Kakek yang di tengah, nenek istri pertama kakek di sebelah kanan dan nenek yang Azkia kenal sebelah kiri.Â
Azkia tidak pernah melihat kakek, sejak Azkia lahir kakek sudah tiada. Hanya diberi tahu kakek bernama engkong Tjoa dan nenek di sebelah kanan adalah mak Kira. Dan nenek yang dikenal sebagai mak Malang.
*****
Pada zaman dulu, Mudita selalu menemani bapaknya Pak Tua ke kota. Hampir setiap hari pak Tua dengan mengendali gerobaknya, mengirim arang ke kota.
Gadis cantik dari desa itu menikmati perjalanan dengan irama terayun-ayun di atas gerobak. Sesekali rambutnya yang hitam diikat asal-asalan tersibak desiran angin yang kelabu.
Babah Tjoa, raja kecap cap potret merupakan pelanggan arang. Seminggu 2x, setiap hari Selasa dan Jumat.Â
Kepada setiap pelanggan, selalu Mudita yang turun mengantar arang dan pak Tua selalu menunggu di gerobak.
Nyah Kira sangat senang dan sayang kepada Mudita. Setiap bertemu Mudita yang membawa karung berisi arang di dapur, diciumnya gadis desa yang cantik, bersih dan sangat sopan.
Sering juga Nyah Kira memberinya uang untuk jajan, tetapi Mudita lugu selalu memberikan kepada bapaknya.Â
Semua ini berjalan bertahun-tahun, dari Mudita masih kecil hingga remaja.Â
Hingga suatu hari Nyah Kira memanggil pak Tua untuk turun masuk ke rumah. Waduh, nderedeg bukan main. Ada salah apa Mudita?
Ternyata .... ternyata Nyah Kira menyampaikan ingin melamar Mudita. Tapi pak Tua heran untuk siapa? Dan ternyata ... ternyata ... ternyata untuk Babah Tjoa.Â
Pak Tua kaget, wah bagaimana ya... Apakah Mudita mau dipoligami begitu?
"Aku mau pulang ke negeri Cina," katanya, "Babah lebih senang di Indonesia." kata Nyah Kira yang seakan tahu apa yang dipikirkan.
Pak Tua tidak berani mengatakan apa-apa. Sesampainya di rumah semua itu dirundingkan dengan istrinya dan Mudita. Semuanya mereka, orang desa yang hormat kepada pelanggan. Tak terpikir mau mengatakan apa.
Hari pernikahan segera digelar di kampung. Beberapa bulan setelah diboyong ke kota yang di pinggiran Malang, Nyah Kira masih ada di rumah.Â
Dengan penuh rasa sayang mengajari Mudita dalam mengurus rumah. Juga menjalankan pabrik kecap. Malahan Mudita tidur di kamar pengantin sama Babah Tjoa, dan Nyah Kira tidur di kamar belakang.
Sampai tiba suatu hari Nyah Kira berangkat pulang ke negeri Cina. Ditinggalkannya 3 anak hasil pernikahan dengan babah Tjoa. Sedangkan Mudita mempunyai 7 anak buah cinta pernikahan dengan babah Tjoa.Â
Sayang seribu sayang, Babah Tjoa yang memang usianya jauh diatas Mudita sakit-sakitan. Produksi kecap jadi menurun, apalagi sejak meninggalnya Babah Tjoa. Pabrik kecap ditutup oleh pemerintah, karena tidak memenuhi syarat kebersihan.
*****
"Ayah dan bibi termasuk yang 7 anak?" Tanya Azkia.
"Ya betul," jawab bibi.
"Ayah dan ibu sudah tiada dan bibi sudah tua, karena itu bibi minta kamu di sini menemani bibi."
Hidup bersama bibi di lingkungan Pecinan yang tadinya dikhawatirkan sulit, ternyata sama sekali tidak sulit.Â
Semua tetangga menerima kehadiran Azkia dan Aisar.Â
"Ini yang cucu Mbah Mudi?"
"Seperti ibu yang anak Mbah Mudi juga," kata tetangga kepada bibi yang memperkenalkan dirinya saat baru tinggal di rumah nenek.Â
Bibi segera menjual barang-barang saat mas Aisar menyatakan tidak sanggup mendirikan lagi pabrik kecap.Â
Hari demi hari rumah nenek semakin rapi. Kehidupan nenek memang agak aneh, tetapi ya begitulah kehidupan neneknya.Â
Azkia merasa pendidikan sarjana Matematika sangat cocok untuk seseorang yang mengikhlaskan memberikan cintanya kepada keluarga yang memerlukan.Â
Dengan penuh rasa sayang dirawatnya bibi yang semakin hari semakin tua, hingga bibinya meninggalkannya untuk menghadap Sang Pencipta.
Kini Azkia tetap bahagia menjadi ibu rumah tangga, mendampingi mas Aisar yang tidak salah profesi. Dan bisa membimbing anak-anak untuk sekolah dengan baik.Â
Bumi Matkita,Â
Bandung, 28/03/2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H