Aku menampilkan wajah protes. Perempuan mana pun akan jengah mendengarnya. Tentu aku tidak ingin berpostur 'gendut' seperti kata Ellena. Kata gendut itu sudah mencederai usahaku menjaga penampilan. Dengan berat 49 kg, posturku tidak termasuk gendut. Apalagi tinggiku 172 cm.
Lebih tepatnya, aku langsing. Seperti kata Maro, "kutilang". Kurus tinggi langsing. Menurutnya, aku masih perlu menaikkan beberapa kilogram lagi. Â Barangkali itu yang membuat aku terlihat 'gendut'.
Ponakanku itu malah tertawa melihat ekspresi keberatanku. Sambil mengelus punggung Pussy, dia tertawa nyaring.
"Tante lucu!"
"Tante marah kok dibilang lucu? Gimana sih kamu!"
Ellena tetap terbahak. Dia seolah tak menanggapi protesku.
"Nggak pantes!" katanya lagi. "Beda. Nggak kayak Mami kalau marah."
Well, aku memang tidak segalak kakakku itu. Kakak perempuan yang selalu perfek terhadap apa saja. Kakak perempuan yang banyak aturan. Beda dengan abangku, Ardi. Dia lebih santai menanggapi hal apa pun.
Mungkin, sebagai kakak tertua yang mengambil alih tugas Ayah dan Ibu, Kak Arda sangat protektif terhadapku. Sejak kecil aku memang menjadi tanggung jawabnya. Aku masih seumuran Ellena saat kedua orang tuaku tiada. Diasuh dan dijaga sebagai si bungsu yang lemah.
Aku bahkan tidak pernah mengambil keputusan tentang apa pun. Semua sudah rampung oleh Kak Arda dan Bang Ardi. Menyenangkan, bukan? Bagai ratu di rumah, semua keperluanku tersedia.
Aku juga tak diberi kebebasan memilih. Memilih sekolah, memilih jurusan, apalagi memilih teman dekat. Hingga pada akhirnya aku menemukan Maro. Teman sekantorku. Pria lajang berkulit putih yang begitu perhatian padaku. Aku tidak mengatakan kakak dan abangku tidak memberiku perhatian, tetapi perhatian dari Maro 'berbeda'.