Mata Enzy terbelalak, gemeletuk giginya mengisyaratkan kekesalan tiada tara pada sahabatnya itu.
"Yang mana, ya. Mak Enap bukan?" Ustaz Mahen balik bertanya.
Ditri mengangkat bahunya. Dia justru mencari jawaban, bukan pertanyaan.
"Sepertinya Mak Enap. Yang tinggal di ujung jalan perbatasan desa." Ustaz Mahen beralih ke arah Enzy. "Ada apa kamu ingin tahu tentang Mak Enap?" tanyanya.
Enzy terperangah. Dia seperti tidak siap mendapat pertanyaan mendadak dari pria ini.
"Hah? Em, cuma penasaran saja. Ibadahnya rajin. Semua dilakukan di masjid."
"Iya. Dia tinggal sendiri. Katanya kalau di rumah sendirian, lebih baik di masjid banyak orang."
"Sepertinya dia kesepian." Ditri ikut menimpali.
"Anak-anaknya?" Akhirnya Enzy tertarik untuk bertanya.
"Entahlah. Anak bungsunya seumuran denganku. Kabarnya dia kerja di kota. Seingat saya Bandi atau saudaranya yang lain nggak pernah pulang. Lebaran sekalipun."
"Bisa terbayang rindu seorang ibu sama anak-anaknya. Kasihan." Ditri menghela napasnya. Tiba-tiba dadanya berdesir halus.