Mohon tunggu...
susi respati setyorini
susi respati setyorini Mohon Tunggu... Guru - penulis

Pengajar yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pancake Cokelat Almond

13 Februari 2021   06:02 Diperbarui: 13 Februari 2021   06:08 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bugh!

Suara benda tumpul yang dipukulkan pada benda lain. Disusul suara benda jatuh. Berikutnya hening. Senyap seperti tidak terjadi apa-apa. Atau memang benar tidak terjadi apa pun di dalam sana. Sebuah ruangan yang sebenarnya terlarang untuk dibuka apalagi mencoba masuk. Itu pesan Nenek Rosmala.

Nenek Ros--begitu sering disapa--menghuni rumah tua warisan orang tuanya sendirian. Anaknya yang laki-laki sudah duluan mati. Ia bunuh diri sepuluh tahun lalu saat masih berusia 15 tahun. Mayatnya entah di mana. Seorang lagi, perempuan. Kabar terakhir dia pindah mengikuti suaminya ke Jakarta. Ada yang bilang anak perempuannya juga sudah mati. Penyebabnya apa tak ada yang tahu, termasuk Nenek Ros.

Di dalam rumah itu ada tiga kamar. Sebenarnya ada satu kamar lagi, tetapi Nenek tak pernah membiarkan orang-orang mengetahuinya. Termasuk Diyanti. Gadis yang tak sengaja diterima tinggal di sana. Mungkin ini sebuah kebetulan. Diyanti sedang butuh tempat tinggal, menolong Nenek Ros yang terjatuh dekat rumahnya.

Nenek Ros memberi kamar anak perempuannya kepada Diyanti. Kamar yang cukup luas dibanding kamar Diyanti sebelumnya. Ranjang klasik dengan kelambu warna dusty pink. Bah, salah satu warna yang paling dihindarinya, selain hitam. Ingin rasanya Diyanti mengganti kelambu itu setengah hari dia di rumah itu. 

Akan tetapi itu tak mungkin, pesan Nenek Rosmala dia tidak boleh mengubah susunan kamar itu apalagi menggantinya. Seluruh barang tidak boleh berpindah dari posisinya sekarang, walaupun hanya menggesernya. Fiuh, pemilik rumah yang otoriter. Tapi mau bagaimana lagi, Diyanti sangat memerlukan tempat tinggal saat ini.

Setelah dua bulan tinggal di sana, Diyanti mulai merasa ada keanehan di rumah Nenek Ros ini. Pada hari-hari tertentu di kamar ini tercium aroma sebuah masakan. 

Awalnya Diyanti tidak mengetahui masakan jenis apa. Dia menghidu dari celah lubang angin kamarnya yang terhubung dengan sebuah kamar kosong yang terlarang itu.

Pernah suatu malam, Diyanti ke dapur karena kehausan. Dia menemukan sepiring pancake yang disiram cokelat dan ditaburi kacang almond. Sepertinya masih hangat, uap panasnya masih terasa. Indra penciumannya juga mengirimkan pesan, aroma makanan di piring ceper ini adalah bau yang sama malam yang lain. Bedanya, kali ini bersama wujud bendanya.

Diyanti urung mengambil minum. Pikirannya teralih demi melihat sepiring pancake itu. Dia kembali ke kamar dengan berbagai pertanyaan bergelayut di batang otaknya. Dia memutuskan untuk bertanya pada Nenek Ros. Akan tetapi, setiap ditanya, bukan jawaban yang dia peroleh, melainkan umpatan.

Merasa tidak mendapat jawaban, Diyanti berupaya mencari sendiri jawaban dari setiap tanya yang hinggap di otaknya. Termasuk mencoba masuk ke ruangan terlarang ini. Diyanti bahkan tak lagi takut si nenek bakal mengusirnya, seperti ancamannya waktu itu, ketika gadis itu bertanya untuk kesekian kali.

"Pergi dari rumah ini, kalau kau banyak tanya!"

Baru kali ini Diyanti melihat Nenek Ros marah besar. Diyanti mengeret. Duduknya sudah tak lagi nyaman. Saat itu, dia memilih berlari masuk ke kamarnya daripada melihat perempuan bertongkat itu murka.

Namun, semua itu lenyap dalam kepingan memori otaknya. Diyanti benar-benar abai. Kali ini Diyanti memilih nekat.

Diyanti membuka kunci gembok pelan-pelan. Kunci yang dia dapatkan di lemari pajangan di ruang tengah. Diyanti yang tomboi dan banyak akal ini, tak terlalu kesulitan mencari kumpulan kunci di rumah ini. 

Dia pernah melihat Nenek membuka lemari itu, saat Diyanti mengaku kehilangan kunci kamarnya. Dengan begitu, si nenek akan mencarikannya kunci cadangan dalam kotak kayu dalam lemari.

Berhasil! Pintu perlahan didorong. Diyanti berusaha deritan pintu tak memicu pendengaran Nenek Rosmala. Gembok dan kunci dimasukkan ke dalam saku celananya. Matanya mulai menelisik ruangan bau apek tanpa penerangan. Satu-satunya cahaya yang bisa menuntun Diyanti melangkah adalah berkas sinar dari lubang udara jendela di sisi kiri.

Diyanti maju selangkah. Sebelah kiri ada dipan kayu dengan kasur yang samar-samar terlihat kumal. Di sisi kanan ada pintu lagi. Kepala Diyanti bergerak mengintip celah pintu yang ternyata tak terkunci. Langkah kaki kirinya menyusul kaki kanan. Belum sempat melongok ke dalam, tiba-tiba gelap yang dirasanya.

Sebuah pukulan mengenai Diyanti. Gadis itu pingsan. Tak ada yang menolong. Diyanti dibiarkan terkapar di lantai dingin dalam ruang terlarang itu entah berapa lama.

"Aw, aduh sakiit ...," keluh Diyanti beberapa saat kemudian.

"Sudah bangun? Apa rasanya dipukul? Sakit?" Suara itu bertanya dilanjutkan tertawa.

Diyanti menoleh mencari sumber suara. Dia beringsut mundur setelah berkali-kali menoleh, tetapi tak juga menemukan pemilik suara.

"Hei! Jangan takut. Kamu sudah berhasil masuk kemari berarti kamu pemberani. Kenapa sekarang jadi takut begitu, heem?"

Diyanti makin beringsut menuju pintu. Otak gadis itu sedang menyusun rencana untuk kabur. Keberaniannya luntur seketika demi mendengar suara tanpa wujud itu.

"Hei! Kamu nggak bisa lihat aku, ya? Oke, biar mata kamu aku perjelas."

Tiba-tiba seberkas sinar berputar-putar depan mata Diyanti, lalu menerobos masuk hingga tubuhnya terjerembab.

"Aww!"

"Sudah bisa lihat aku?"

Terdengar jentikan jari-jari. Diyanti membuka matanya pelan-pelan sebelum akhirnya terpejam lagi.  Dia lebih dulu menjerit tertahan. Kedua tangannya menutupi wajahnya sendiri. Terpekik kencang hanya akan menyebabkan Nenek terbangun.

Arah mata Diyanti terkunci pada posisi pukul 12. Dengan posisi kepala sedikit terangkat, kedua matanya terbelalak tak mempercayai apa yang dilihatnya.

"Si-siapa kamu?" tanya Diyanti.

"Siapa? Aku?" Suaranya centil. Dia duduk di atas meja dengan kaki kanan ditumpuk ke kaki kirinya. Tubuhnya mungil. Mungkin setinggi telunjuk Diyanti.

Diyanti makin tegang dan ketakutan melihat makhluk aneh itu.

"Kamu kenapa? Jangan takut. Aku nggak akan buat kamu seperti aku," ucapnya.

"Ma-maksud kamu apa?" Diyanti mulai panik.

"Ma-ti," ucapnya berbisik.

Tiba-tiba dia terjun dari meja. Swiing .... Muncul serupa sayap kecil di punggungnya, mengepak, dan mengatur posisi terbang hingga kini nangkring di lutut Diyanti. Dia kini duduk cantik seperti tadi di atas lutut kanan Diyanti.

Gadis itu berusaha mundur dengan menarik kaki, tapi sepertinya Diyanti kehilangan daya geser. Dia tidak bisa bergerak.

"Kamu apakan aku?" jerit lirih Diyanti hampir menangis.

"Apa yang kulakukan? Tidak ada."

"A-aku nggak bisa bergerak. Kamu apakan aku?" Diyanti mulai merintih lirih. Rasanya ingin sekali dia berteriak, agar tetangga mendengar, lalu menolongnya. Namun, Diyanti khawatir akan membangunkan Nenek Rosmala.

"Sudahlah. Kamu tenang saja. Aku buatin pancake Cokelat Almond, ya."

Pancake? Alis Diyanti bertaut. Nama makanan itu seperti tak asing di telinganya. Apakah seperti makanan di malam itu? Atau aroma yang kerap tercium dari kamarnya benar dari kamar ini?

"Kamu pasti suka. Ibuku dulu bilang pancake buatanku paling lezat. Kamu harus coba."

"Mau apa kamu sebenarnya?"

"Hah? Aku?" Makhluk mungil itu terbang sambil tertawa kencang, memegangi perutnya. Sedetik kemudian dia berputar dengan tangan lurus ke atas. Tiba-tiba ...

Ting!

Sesosok gadis belia nan cantik rupawan berdiri di depan Diyanti dengan pancake di tangan kirinya. Gadis itu tersenyum. Gerakan tangan yang satu menyibak rambut warna gold ke belakang.

"Pancake Cokelat Almond. Kamu pasti suka."

Sekejap makanan itu matang. Masih berasap menguarkan aroma khas cokelat leleh hangat yang berpadu dengan kacang almond.

"Siapa kamu?" Diyanti mulai tak sabar untuk membentaknya. "Apa mau kamu?"

"Aku ... aku mau kasih kamu pancake ini."

"Aku tak mau!" Diyanti mulai gemetaran. Air matanya meleleh.

"Kamu harus mau," desaknya pelan. "Karena kamu sudah lancang!"

Kalimat terakhir diwarnai teriakan yang mengubah wajahnya seketika. Perempuan dengan mata merah menghunjam jantung. Perempuan itu--yang tadi jongkok--tegak berdiri dibantu tongkatnya.

Diyanti makin terperangah dan ketakutan dua kali lebih besar. Kakinya masih berusaha bergerak mundur mencapai pintu. Dengan sisa kekuatannya, dia menarik kakinya yang mendadak lumpuh dengan tangan sebagai tumpuan.

Tangannya berhasil menguak pintu pertama. Diyanti terus menarik tubuhnya. Saat sampai di pintu keluar, Diyanti mendengar percakapan mereka.

"Bu, ini pancake buat Ibu." Gadis itu menyorongkan piring kecil berisi pancake.

"Pancake cokelat almond."

Airmolek, 04.02.2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun