Mohon tunggu...
susi respati setyorini
susi respati setyorini Mohon Tunggu... Guru - penulis

Pengajar yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Perjalanan Hijrah

7 Agustus 2020   09:50 Diperbarui: 7 Agustus 2020   10:13 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Cokelat dan Arloji Penulis Susi Respati Setyorini penerbit LovRinz

Aku melipat mukena dan meletakkan di sandaran kursi, lalu duduk di kursi putar menghadapi laptop. Geraian rambut yang berantakan kembali kurapikan. Aku melihat bayangan diri di layar monitor laptop. Rambut sebahu kuraba. Hitam, tipis, dan kerap rontok. 

Setelah Syifa memutuskan menutup auratnya dua tahun lalu, aku memilih bersikap biasa. Aku menghargai keputusannya, demikian juga Syifa menghargai keputusanku yang belum ingin menutup auratku ini.

Namun, ada yang lain selepas qiyamul lail malam ini. Aku beranjak mendekati cermin di lemari pakaian di sudut kamar. Mematut wajah sendiri, cukup lama. Aku mengambil selendang yang menggantung di sela-sela baju. Memasangnya di kepala, lalu merapikan sisa kain ke belakang. Mematut lagi, lalu tersenyum sendiri.

Tiba-tiba pintu diketuk. Aku buru-buru melepas penutup kepalaku, lalu berjalan membuka pintu. Wajah Bibi terlihat di sebalik pintu sambil tersenyum. Bibi mengenakan mukena dengan sajadah tersampir di pundaknya. Sepertinya Bibi hendak ke masjid.

"Bibi subuhan di masjid?" tanyaku menebak.

"Iya, Non mau ikut?"

Tak langsung mengangguk dan kembali ke dalam mengambil mukena dan selendang yang tadi kucoba. Setelah menutup semua pintu kami bertiga menyusuri jalan menuju masjid. Azan Subuh menggemakan panggilan salat. Merdu sekali, menyejukkan hati. Aku kembali merasakan babak ini saat masih SD. Saat masih ada Papa.

"Non cantik pakai jilbab," tukas Mamang memuji penampilanku.

"Diteruskan saja, Non."

"Apanya, Bi?"

"Pakai jilbabnya."

Aku tersenyum, pipiku mungkin sudah merona merah. Malu. Lebih tepatnya malu karena terlambat. Seharusnya sudah kulakukan sejak dulu. Sejak Syifa mengingatkanku. Syifa memang pernah mengingatkan aku untuk menutup auratku. 

Waktu itu, aku sedang mabuk popularitas. Selain Syifa, Papa juga melarangku menggunakan pakaian yang pendek termasuk tanpa lengan. Aku memang tomboy, lebih menyukai kulot atau celana panjang daripada rok apalagi gamis.

Syifa memang tak pernah memaksa. Sebagai sahabat dia cukup memberiku kebebasan untuk memilih. Saat itu aku belum memikirkan pakaian yang seharusnya sebagai muslimah. Aku masih menikmati 'kebebasan' berbusana.

"Nay, ke butik Balqis, yuk," ajaknya waktu itu.

"Balqis?"

"Ya, anak komunikasi yang mantannya Reno."

"Punya butik sendiri?"

"Kayaknya bisnis keluarga, deh."

"Apa aja dijualnya?"

"Makanya ayuk ke sana aja jadi bisa tahu ada apa aja."

"Oke," jawabku mantap.

Usai makan siang, aku dan Syifa mengunjungi Butik Balqis. Beruntung kami bertemu si empunya butik. Aku perhatikan Balqis sejak masa kuliah sampai sekarang, masih tetap cantik. Kulitnya putih dan tinggi badannya bak peragawati. Oh, iya. Aku ingat dia pernah mengikuti seleksi Putri Indonesia. Sejak memutuskan berhijab, Balqis tampak lebih kalem, tetap cantik dengan balutan busananya.

Syifa berkeliling bersama pegawai Balqis memilih baju sampai jilbabnya. Sepertinya Syifa sudah biasa berbelanja di butik milik keluarga Balqis ini.

Dulu, aku dan Balqis sering bertemu dan terlibat kegiatan pameran di kampus. Beberapa event besar pernah membuat kami masuk dalam kepanitiaan inti. Meskipun kami berbeda jurusan, kami termasuk akrab. Kami mengobrol santai sembari mengingat masa kuliah. Termasuk aku menanyakan Reno.

"Reno apa kabar?"

"Hah?" Ada keterkejutan. Balqis tersenyum sambil menggeleng.

"Itu udah lama banget, Nay. Ngapain ditanya?"

"Kalian pacaran dah lama, 'kan?"

"Pacaran lama gak jamin saling memahami, Nay. Justru aku bersyukur bisa putus dari dia."

"Lho? Kenapa?"

"Nayya, makin lama kita berpacaran, makin banyak kita berbuat dosa. Coba kamu pikir. Dia bukan siapa-siapa kita. Tapi dia yang ngantar kita ke mana-mana, nonton, makan. Apa pun dilakukan berdua. Gandengan tangan, pelukan. Dia bukan mahrom kita, Nay."

Aku mendengarkan ucapannya dan aku mencerna kalimatnya pelan-pelan.

"Aku gak mau makin lama hubunganku dengan dia makin gak jelas. Aku ngajak dia nikah."

"Trus, dia gak mau? Kamu putusin. Selesai."

"Dasar author!"

"Jamak, 'kan? Kalau dia mau nikahin kamu, aku pasti terima undangan pernikahan kalian." Aku tertawa lepas. "Sampai sekarang kamu belum nikah. Kenapa? Gak bisa move on?"

Balqis menatapku beberapa saat sebelum dia menghela napasnya berat.

"Nayyara, biar aku kembalikan tanyamu, 'sampai sekarang kamu juga belum nikah. Kenapa? Gak bisa move on?'."

Aku terkesiap. Tidak menyangka Balqis cukup jeli membalas rasa penasaranku. Aku dan dia tertawa bersama setelah menyadari kekonyolan kami berdua. Aku bahkan baru menyadari kalau aku juga masih belum bisa pindah ke lain hati. Kami tertawa panjang sambil menutup wajah masing-masing.

"Kita konyol, ya, Nay. Kita mengikat kaki kita pada masa yang jelas bukan milik kita. Sebenarnya, aku pasrah dengan jodohku. Orang tuaku beberapa kali mengenalkan aku dengan anak kenalan mereka. Aku juga taaruf. Beberapa kali malah. Tapi semuanya nol. Kalau kamu, Nay?"

Aku gugup dengan pertanyaan serangan itu. Aku pikir Balqis sedang berbagi ceritanya setelah putus.

"Hmm, ya, aku biasa aja. Aku mengalihkannya dengan menulis. Itu terapi buatku. Melupakan pelan-pelan. Sampai lupa umur tetap jalan."

Kembali kami tertawa lepas. Syifa mendekat.

             "Bahagia banget, sih. Ngobrolin apa?"

"Ngobrolin tentang nasib---"

             "Ditinggal kawin!" potong Balqis diakhiri tawanya yang renyah.

Tak ayal hal ini mengundangku ikut tertawa. Tawaku lepas. Seperti melepaskan beban yang kutahan selama ini. Barangkali dengan menertawakan diri sendiri bisa menjadi resep termanjur menyembuhkan luka batin.

Syifa yang datang dengan sebuah tentengan, hanya bisa ikutan tertawa menyaksikan kedua temannya beradu tawa.

"Eh, Nay, kamu gak ikutan belanja? Mumpung lagi ada diskon, lho."

"Hmm, apa ya? Aku gak biasa pakai gamis."

"Ayolah, ubah penampilanmu. Biar para kumbang mendekatimu lagi."

Aku memukul jidat Balqis pelan, lalu melihat-lihat tumpukan jilbab bermotif di butiknya. Aku tertarik jilbab bercorak kalem dengan warnanya yang soft. Akhirnya, aku memilih dua lembar jilbab segiempat itu.

"Subhanallah, Nayyara Ndraha. Semoga istikamah."

"Doakan saja, Fa. Kalau tidak sekarang dan hari ini, mungkin suatu saat nanti."

"Aamiin." Syifa dan Balqis mengaminkan doaku.

Aku menyimpannya di lemariku. Saat itu aku hanya latah membeli, terlebih lagi tidak enak dengan Balqis yang memintaku untuk ikut belanja di butiknya. Saat itu, aku memang belum berniat memakainya. Sampai saat Bi Min mengajakku ke masjid semalam dan pagi ini. Aku mulai menikmati 'sesuatu' di balik sehelai kain yang melindungi kepalaku ini.

Sampai di kamar, aku tidak melepas jilbabku yang kugunakan tadi. Aku lalu menarik kursi putar dan mulai menyalakan laptop, mengecek email masuk.

Ting!

Sebuah pesan masuk ke ponselku. Aku segera memeriksanya. Ada puluhan panggilan dan juga pesan masuk. Aih, aku baru menyadari ponselku kehabisan daya sepulang dari kafe. Aku bahkan lupa menghidupkan benda pipih itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun