"Aku gak mau makin lama hubunganku dengan dia makin gak jelas. Aku ngajak dia nikah."
"Trus, dia gak mau? Kamu putusin. Selesai."
"Dasar author!"
"Jamak, 'kan? Kalau dia mau nikahin kamu, aku pasti terima undangan pernikahan kalian." Aku tertawa lepas. "Sampai sekarang kamu belum nikah. Kenapa? Gak bisa move on?"
Balqis menatapku beberapa saat sebelum dia menghela napasnya berat.
"Nayyara, biar aku kembalikan tanyamu, 'sampai sekarang kamu juga belum nikah. Kenapa? Gak bisa move on?'."
Aku terkesiap. Tidak menyangka Balqis cukup jeli membalas rasa penasaranku. Aku dan dia tertawa bersama setelah menyadari kekonyolan kami berdua. Aku bahkan baru menyadari kalau aku juga masih belum bisa pindah ke lain hati. Kami tertawa panjang sambil menutup wajah masing-masing.
"Kita konyol, ya, Nay. Kita mengikat kaki kita pada masa yang jelas bukan milik kita. Sebenarnya, aku pasrah dengan jodohku. Orang tuaku beberapa kali mengenalkan aku dengan anak kenalan mereka. Aku juga taaruf. Beberapa kali malah. Tapi semuanya nol. Kalau kamu, Nay?"
Aku gugup dengan pertanyaan serangan itu. Aku pikir Balqis sedang berbagi ceritanya setelah putus.
"Hmm, ya, aku biasa aja. Aku mengalihkannya dengan menulis. Itu terapi buatku. Melupakan pelan-pelan. Sampai lupa umur tetap jalan."
Kembali kami tertawa lepas. Syifa mendekat.