"Lek ... wis rasah dibahas."
"Luh! Kebangeten kowe!" bentaknya sambil mengacungkan genggaman tangannya dan pergi.
Aku memandangi punggung perempuan itu menjauh. Langkahnya sangat terburu-buru. Selain bingung melihat sikapnya, juga penasaran dengan ucapannya.
Kenapa perempuan yang dipanggil Lek itu seperti menyimpan rahasia besar yang pernah terjadi di sini. Di Jenar. Lalu, kenapa juga Galuh menghalangi perempuan itu untuk bicara lagi.
Aku mengalihkan pandanganku ke Galuh yang juga masih memerhatikan perempuan itu pergi.
"Itu Lek Darmi," jelas Galuh tanpa diminta.
"Ibu Rara?" tanyaku.
Galuh hanya mengangguk. Lalu, ia balik badan meninggalkanku di teras.
"Luh!" panggilku mencegah dia pergi.
"Nanti malam aku cerita semuanya. Sekarang aku harus ke masjid persiapan Muludan."
Aku hanya menelan ludan kecewa setelah gagal menahannya dan menceritakan semua yang pernah terjadi.