Aku meletakkan mangkuk yang masih berisi bubur kacang hijau ke atas meja. Aku lebih tertarik mendengarkan cerita Galuh tentang gadis kecil anak Lek Darmi.
Galuh masih diam belum juga memulai ceritanya. Sementara aku sudah didera rasa penasaran.
"Kamu yakin mau dengar cerita tentang Rara?"
Kedua alisku bertaut, tapi kuanggukkan juga kepalaku.
"Rara itu anaknya Lek Darmi yang paling kecil. Dia terlahir bisu tuli. Dia tak pernah sekolah," papar Galuh.
"Jadi sehari-hari?"
"Bermain."
"Main dengan siapa?"
"Boneka Panda miliknya."
Aku terhenyak. Masih jelas kuingat, gadis kecil itu berpenampilan kumal, kepangan rambutnya acak-acakan. Dan yang lebih miris lagi, dia menggendong boneka Panda yang telinganya hilang sebelah. Warna bonekanya pun tidak bisa disebut bersih.
"Ra ...," panggil Galuh.
Lamunanku membenamkan seluruh kesadaranku. Aku seperti pernah berada di situasi tadi. Pernah bertemu dengan gadis kecil yang sangat mirip dengan Rara. Tapi di mana?
"Ra!"
Galuh melambaikan tangannya tepat di depan wajahku. Aku tersadar dari lamunanku. Dan memperbaiki dudukku.
"Kamu kenapa? Melamun?"
Kepalaku menggeleng. Tanganku meraih mangkuk dan kembali menghabiskan bubur.
"Apa kamu pernah bertemu sebelum ini?" tanya Galuh tiba-tiba.
Aku terhenyak mendengar pertanyaannya. Dia seperti bisa membaca pikiranku. Kutatap mata Galuh lekat.
"Aku tak yakin."
"Yakin tentang apa?"
"Pernah bertemu dia."
"Rara?"
"Ya ... tapi entah di mana dan kapan. Sepertinya belum lama."
"Barangkali di mimpi kamu?"
Aku mendongak dan kembali menangkap makna dari kalimat yang keluar dari bibirnya. Galuh benar. Aku mengingat sesuatu tentang Rara. Â
#30dwcjilid14
#squad6
#day12
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H