Mohon tunggu...
Kebijakan

JKN-UHC, Logika Naif Rezim Zalim

28 April 2019   05:46 Diperbarui: 28 April 2019   05:59 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua, fungsi negara sebagai regulator.  Yakni,  pembuat aturan yang  memuluskan kepentingan bisnis korporasi  BPJS Kesesehatan.  Ketiga, pembiayaan berbasis industri kapitalisme asuransi kesehatan sehingga pelayanan kesehatan tunduk pada hasrat bisnis kapitalisme bukan kesehatan dan keselamatan jiwa publik.

Inilah fakta persoalan paradigma- ideologis JKN --UHC .  Yakni, program yang dilandaskan paradigma batil sekuler kapitalisme.  
 
Krisis Mendunia
Persoalan sistemik ideologis JKN-UHC semakin diyakinkan  oleh bukti  krisis kronis pelayanan kesehatan neolib UHC yang  tidak saja di Indonesia,  tetapi  telah mendunia.  Termasuk di Jerman dan Britania.  Pada hal di kedua negara ini kemajuan teknologi tidak usah ditanya dan usia penerapan konsep batil ini sudah puluhan bahkan seabad lebih di Jerman.
 Jerman, diskriminasi pelayanan kesehatan berupa waktu tunggu yang berbeda antara pasien asuransi kesehatan  wajib (Gesetzliche Kranke Versicherung, GKV) dan asuransi private tidak pernah teratasi.  (sumber).  

Hingga baru-baru ini, desakan publik menjadikan pemerintah Jerman mengeluarkan peraturan agar  pasien asuransi kesehatan  wajib dapat lebih cepat bertemu dokter (sumber).

Sementara GKV sudah berdiri sejak tahun 1883 dan usia lebih seabad.

Britain, kondisi serupa juga dialami pasien National Health Services, badan penyelenggara program asuransi kesehatan wajib yang didanai dari pajak .  Laporan Royal College of Surgeons yang diberita per 1 April 2019 menyatakan hampir seperempat juta pasien Inggris menunggu lebih dari 6 bulan untuk menerima perawatan medis (fobes.com, 1 April 2019.  Britain's Version of  Medicare For All is Struggling with Long Waits for Care).  
Jepang,  defisit kronis sistem asuransi kesehatan nasional tidak teratasi, meski reformasi telah dilakukan (sumber).  

Sementara di AS persoalan pelayanan kesehatan tak kalah serius.  Harga yang lebih tinggi bukanlah jaminan untuk kualitas perawatan yang lebih tinggi. Bahkan, konsumen terkadang membayar lebih mahal. (sumber).

Inilah fakta yang  menegaskan bahwa krisis pelayanan kesehatan JKN bukanlah persoalan teknis yang akan berlalu dengan bertambaha usia dan sejumlah langkah-langkah teknis seperti menaikan premi. Kenaikan premi  dan upaya teknis lainnya hanya melanggeng kezaliman penguasa.   Karenanya, betapa naif logika rezim yang memandang JKN UHC sebagai persoalan teknis semata yang dapat diperbaiki step by step.

Manfaat Semu
Pemerintah beralasan meneruskan program JKN UHC karena memberikan manfaat menjaga kesehatan masyarakat,  sebagaimana dinyatakan Menteri Kesehatan, "Mereka berobat, datang ke fasilitas kesehatan tidak membayar, dan ini mengurangi uang dari kantong masyarakat,"  (sumber).   Namun pernyataan ini semakin menegaskan betapa logika naif  sekuler telah mendominasi benak  rezim.  

Penilaian keberhasilan berdasarkan angka-angka semata di tengah atmosfir komersialisasi dan diskrimnasi yang melingkupi pelayanan kesehatan, jelas menyesatkan.  Karena menegasikan berbagai persoalan serius yang faktanya ada di depan mata.  

Lebih dari pada itu, konsep --konsep dan paradigma batil JKN UHC meniscayakan setiap orang berpeluang didera berbagai penderitaan,  sebagaimana yang kita saksikan pada  jutaan orang hari ini. Mulai dari beban premi hingga diskriminasi pelayanan  kesehatan  yang mengancam kesehatan  dan  nyawa jutaan orang.  Artinya, sekalipun ada banyak orang yang merasakan manfaat program JKN sejatinya hanyalah manfaat semu.

Harus dipahami bahwa konsep batil selamanya tetap batil dan tidak akan pernah berbuah kebaikan dan kesejahteraan bagi semua orang. Sebaliknya, ia hanya akan menjadi sumber petaka dan penderitaan umat manusia.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun