"Baiklah, asalkan kau tetap belajar," kata Lancer setuju.
"Di luar sedang cerah, apa kau mau melihat bunga-bunga yang bermekaran di taman?" ajak Lancer.
Thyria menggeleng. "Aku tidak suka jika langit di luar bersinar cerah." Kemudian dengan tiba-tiba dia beringsut duduk. Rambut hitam pendeknya terlihat berantakan. "Kakak, aku merasa aneh pada diriku. Kakak juga menyadarinya, bukan? Aku tidak suka makanan kesukaanku lagi, aku tidak suka berkeliaran di luar rumah saat matahari sedang bersinar terik, dan yang paling membuatku bingung adalah aku sering mencium aroma manis dari tubuh seseorang."
Lancer memegang dagunya dengan pose berpikir. "Hm? Mungkinkah kau mengalami pubertas?" ujar pemuda ini, sedikit melenceng dari apa yang dapat dia simpulkan di dalam otaknya.
"Apa? Aku membaca buku, ciri-ciri gadis pubertas bukan seperti yang kualami," ucap Thyria merendahkan suaranya dan dia terlihat sedih.
Senyum manis tersungging di wajah tampan Lancer. Pemuda itu menepuk kepala Thyria yang tertunduk lesu. "Kau tidak perlu khawatir. Itu bukan masalah besar. Tidak lama lagi kau akan tahu," katanya menenangkan. Dia mengelus kepala Thyria dengan lembut. Sebagaimana tatapannya yang tidak pernah berubah ketika menatap gadis ini.
Esok pagi, ketika Thyria masih tertidur pulas di kamarnya yang gelap, Lancer dan ayahnya sedang sarapan berdua. Momen ini dimanfaatkan Lancer untuk mengatakan apa yang terjadi pada gadis kecil mereka. Lancer mengungkapkan semuanya, dan sang ayah tampak diam memikirkan.
"Mungkin sudah saatnya dia menemukan jati dirinya. Aku harus menyiapkan stok untuk makanannya mulai sekarang. Lancer, awasi dia ketika dia berusia tujuh belas tahun. Di usia itu biasa akan berada pada masa 'pubertas' bagi ras itu."
Perkataan sang ayah dapat dengan mudah Lancer pahami. Dia pun mengangguk patuh dengan raut muka yang terlihat serius.
"Baik, ayah."
***