Ruang untuk pasar tradisional adalah ruang masyarakat tradisional dalam melakukan transaksi jual-beli, dan menjual hasil-hasil panen para petani, nelayan, dan hasil kerajinan tangan masyarakat sekitar. Para petani berbondong-bondong mengangkut hasil panennya berupa sayur-sayuran yang segar, buah-buahan yang berlimpah, dan harga yang sangat terjangkau. Para nelayan mengumpulkan hasil tangkapannya berupa ikan-ikan segar lalu didistribusikan ke pasar tradisional. Untuk mendistribusikan hasil panen dan tangkapan tersebut, para pedagang tradisionalpun muncul.
Aktivas tersebut berkembang seiring makin banyaknya terjadi perjumpaan antara penjual dan pembeli, dan bertumpu disuatu tempat, itulah namanya pasar tradisonal. Aktivitas di pasar tradisional menghasilkan pertumbuhan sektor jasa yang dikerjakan oleh masyarakat lokal dan hasil kerja sangat lumayan untuk menghidupi kebutuhan keluarga mereka, disamping memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak mereka.
Namun, melihat situasi dan kondisi saat ini, konsep diatas sudah sangat jarang diketemukan, sebab regulasi pemerintah untuk memuliakan keberaadan pasar tradisional bisa dikatakan sangat nihil. Inilah yang mengakibatkan keberadaan pasar tradisional beberapa tahun terakhir ini sangat memprihatinkan. Sebab paradigma yang muncul tentang pasar tradisional banyak menuai persepsi yang miring. Hal ini juga didorong oleh kebijakan pemerintah yang mengesampingkan fungsi dan peranan penting pasar tradisional. Persepsi bahwa pasar tradisional adalah cerminan tata ruang yang buruk, ternyata mengakibatkan lahirnya kebijakan berupa regulasi untuk merelokasi pasar tradisional ke areal yang lain.
Jika keadaan ini cenderung diabaikan, eksistensi pasar tradisonal akan mendapat ancaman yang serius, yakni digeser oleh munculnya berbagai pusat-pusat perbelanjaan atau pasar modern. Realitas menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat terbuai oleh suguhan dan promosi pasar-pasar modern melalui media massa. Promosi tersebut juga dikuatkan oleh tawaran-taran diskon besar-besaran yang dilakukan pengelola pasar modern. Padahal jika diamati sebenaranya tawaran diskon itu merupakan strategi untuk cuci gudang, karena pabrik produksi mengalami over production. Sementara keberadaan pasar tradisonal dikesampingkan, bahkan berita yang tersiar mengatakan pasar tradisional itu terkesan jorok, becek, harga barang yang tidak stabil, kualitas barang yang diragukan dan cenderung mengakibatkan kemacetan di badan jalan. Selain itu, kondisi jalan tidak teratur, sering terjadi kemacetan dan hiruk-pikuk membuat orang-orang termasuk konsumen tidak nyaman berbelanja di pasar tradisional.
Hasil Investigasi
Pada dini hari, tepatnya Selasa, 25 November 2014 pukul 02.00 WIB saya dan Vanbinsar Pardosi, salah seorang rekan dari Kelompok Studi Mahasiswa BARSDem turun basis untuk melakukan investigasi mengamati para pedagang yang berada di Pasar Tradisional Bakaran Batu. Pasar itu adalah pasar yang baru selesai dibangun oleh Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang, dan para pedagang yang beraktivitas di dalamnya adalah mereka yang direlokasi dari kawasan Plaza Delimas di Pasar III, Kota Lubuk Pakam, Kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang.
Temuan awal yang kami peroleh di lapangan menunjukkan kondisi pasar tidak banyak dikunjungi oleh pembeli. Bahkan bisa dikatakan lebih banyak pedagang daripada pembeli. Inilah salah satu penyebab kenapa pasar Bakaran Batu ini menuai masalah. Setelah kami mengamati, kemudian kami melakukan wawancara dengan para pedagang. Mereka dengan antusisasnya menjelasakan keluh-kesah mereka selama berjualan di pasar ini. Dari sekian banyak para pedagang yang kami wawancarai mengerucut pada banyaknya kerugian yang ditanggung para pedagang. Hampir setiap hari mereka mengalami kerugian karena pembeli tidak banyak yang datang.
Setelah pengamatan dan wawancara langsung, esok harinya kami membagikan angket masing-masing 100 angket untuk Pedagang dan 100 angket untuk pembeli. Dalam angket tersebut kami membuat pertanyaan dan tanggapan untuk pedagang maupun pembeli mengenai kebijakan Pemkab Deli Serdang melakukan relokasi ini.
Hasil angket menunjukkan bahwa beberapa penyebab utama mengapa para pembeli tidak banyak berbelanja ke pasar ini adalah: pertama, aksesbilitas yang kurang tepat. Hal ini mengakibatkan jalur transportasi berupa angkutan umum tidak ada yang melewati pasar ini. Kedua, Pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Pasar, tidak merelokasi semua pedagang yang berada dikawasan Plaza Delimas. Sehingga para pedagang daging dan ikan tidak ikut direlokasi. Hal ini mengakibatkan di pasar Bakaran Batu tidak banyak didatangi pembeli. Yang ada dipasar ini hanyalah pedagang sayur dan buah. Akibatnya, konsentrasi pembeli terpecah. Jika berebelanja kepasar Bakaran Batu, para pembeli akan berpikir dua kali dan lebih memilih untuk belanja di sekiran Plaza Delimas saja, atau bahkan di dalam plaza-nya langsung. Sebab kemasan barang dagang di dalam plaza sudah didesain semodern mungkin. Ketiga, Untuk menuju pasar Bakaran Batu, para pedagang maupun pembeli harus mengeluarkan cost yang lebih. Akibatnya banyak yang merugi.
Hasil investigasi diatas merupakan gambaran betapa kehadiran pembangunan seringkali mendiskriminasi masyarakat lokal. Mulai dari kota hingga pedesaan. Seperti halnya untuk pedagang pasar tradisional Lubuk Pakam yang selalu digusur Pemkab Deli Serdang tersebut. Pembkab Deli Serdang tentu keliru, sebab selalu menyatakan bahwa keberadaan pedagang pasar tradisional di sekitaran Plaza mengakibatkan Kota Lubuk Pakam mengidap tata ruang yang buruk. Sebab kondisi badan jalan semakin tertutupi dan mengakibatkan arus jalan menjadi macet.
Saya juga perlu mempertanyakan hal ini, mengapa Pemkab Deli Serdang lebih memlih bekerjasama dengan Pihak Ketiga (Swasta) dan terikat MoU hingga tahun 2026? Pihak ketiga tersebut adalah Pemilik Plaza Delimas. Plaza Delimas berdiri di Pasar Impres setelah terjadinya kebakaran Pasar Impres beberapa tahun yang lalu. Kehadirian plaza tentu memakan ruang untuk pedagang tradisional. Jadi sangat wajar jika mereka tumpah ke badan jalan.
“Ini merupauakan negara hukum, tapi kenapa keadilan itu tidak benar ditegakkan? Kenapa justru kami para pedagang pasar tradisional yang menjadi korban?”, ucap salah seorang pedagang terbsebut.
Kejadian yang sama juga dialami oleh pedagang di Pasar Sambu. Mereka digusur paksa oleh aparat keamanan pada senin, 27 April 2015, dini hari. Penggusuran itu berlangsung hingga suasana pagi terang benderang. Ketika para pedagang menolak untuk direlokasi, maka yang menjadi monster adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Petugas Kepolisian, TNI, dan Dinas Perhubungan.
Sontak, tindakan semena-mena yang dilancarkan oleh aparat mengundang kemarahan dari pedagang. Mereka melakukan perlawanan kecil untuk tetap mempertahankan barang dagangan mereka. Namun mereka kalah dari jumlah aparat. Bahkan lebih brutalnya lagi, para pedagang ditembaki aparat menggunakan peluru karet.
Melihat kondisi ini, dimana sebenarnya letak keberpihakan aparat keamanan? Bukankah institusi ini diciptakan untuk mengayomi masyarakat? Rakyat masih saja dijadikan korban kekerasan dan aparat sangat tidak menghargai hak asasi manusia. Tindakan represifitas selalu menjadi hal yang selalu diandalkan oleh aparat.
Kedaulatan Ruang untuk Rakyat
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 pada pasal 7 ayat (1) tentang Penataan Ruang menegaskan, “Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kedaulatan ruang berarti penguasaan ruang yang sepenuhnya dikuasasi oleh rakyat melalui peruntukan ruang yang sepenuhnya dikelola murni oleh rakyat tanpa intervensi para penguasa dan pemegang modal besar.
Namun, meskipun sudah diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan, masih saja regulasi yang tercipta berpihak kepada para pemodal dan penguasa birokrasi. Hal ini terlihat arah dan laju pemikiran para pemikir tata ruang modern selalu berkhayal untuk membuat konsep keruangan kota yang diisi oleh taman-taman sebagai ruang terbuka hijau, dipercantik oleh jalan aspal yang mulus-mulus, diisi oleh gedung-gedung pencakar langit, diimpit oleh pusat-pusat perbelanjaan modern, kemudian bisnis properti berkembang disana-sini, dengan membangun hunian perumahan elit dan terpisah dari permukiman rakyat miskin.
Lebih parahnya lagi, jika ada jembatan di tengah perkotaan, biasanya jembatan tersebut selalu dipercantik dengan dinding-dinding jembatan yang mewah dan berbiaya mahal untuk menutupi kondisi sungai yang jorok akibat limbah industri. Tata ruang kota semakin melahirkan bagunan-bangunan mewah, elit, dan berbaiaya mahal; itulah hasil pemikiran para ahli tata ruang dan ahli arsitektur kota yang diilhami oleh tekanan pasar dan siraman uang supaya para pemikir tersebut cepat kaya. Para kontarktor besar berjingkrak-jingkrak menjilati lancarnya arus proyek pembangunan kota.
Naluri buas tersebut mengakibatkan banyaknya konflik perampasan lahan, perampasan ruang kota, dan perampasan ruang pasar tradisional. Demikian halnya dengan kedaulatan ruang untuk pasar tradisional, seharusnya pemerintah harus mengakui dan memuliakan keberadaan pasar tradisional.
*Oleh: Rindu Hartoni Capah | Penulis adalah mahasiswa Jurusan Geografi Konsentrasi Tehknik di Universitas Negeri Medan dan aktif dalam gerakan sosial di Kelompok Studi Mahasiswa BARSDem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H