Mohon tunggu...
Fransiska Rina Milansi
Fransiska Rina Milansi Mohon Tunggu... -

ibu rumahtangga yang suka nulis karena ga hobby curhat...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mumpluk...(Perempuan)

20 Juni 2012   14:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:44 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Biar sajalah dianggap pembantu atau pun pelacur”

Perempuan itu menyibakan rambut ikalnya yang kemerah-merahan terpanggang matahari.

”Hmmmm……………..” tangannya sibuk mencoret-coret kertas putih yang disebaliknya adalah proposal sumbangan dana agustusan RT yang baru saja diantarkan pak satpam tadi sore.Sesekali jemarinya yang sesungguhnya cantik itu menggaruk kasar kulit kepalanya yang mengeras hingga ketombenya berjatuhan seperti hujan salju.sementara angin sepoi dari jendela membelai lembut pipinya yang merona alami.

“dianggap atau menganggap?”

“Terserahlah toh kenyataannya sama saja ?’

“Loh….???”

“Mmmmmhhh……”

“kenapa begitu?”

Perempuan itu menggedikkan bahunya tanpa mengalihkan pandangannya ke atas kertas selebaran itu.Sementara tanda tanya, titik, dan koma mulai bertaburan diatas kertas.Seperti meises diatas donat yang menemani kopi mocca mengepul hangat sore itu diatas meja.

“kenapa tidak nyonyasaja atau ndoro putri misalnya?”

“hahahaha………………..hihihi…………..”

“Hmmmmhhhh……….”

“anda salah bacaan?’

“jangan meremehkan aku?”

“faktanya?’

“bertumpuk buku motivasi, fiksi, literatur luar dan dalam negeri sudah kulalap habis belum lagiberita terbaru di internet, di tv di …………”

“infotainment.?”

“ah…”

“nggak usah malu-malu aku juga suka kok menikmati aib orang lain”

“ahhh…”

“ya…” kali ini lehernya memutar sebentar menatap lawan bicaranya”sambil menyembunyikan tawa disudut bibirnya.melengkung seperti bulan sabit waktu malam menghitam.

“senang ya orang lain susah..?”

“setidaknya ada yang lebih aib dari kita.”

“oya..?”

“kita nggak sendiri di dunia?”

“toh memang nggak sendiri kan?’

“Ya tapi kita membuat orang lain sendiri”

“kok?”

“ya untuk membuat kita nggak sendiri kita merebut teman orang lain ?”

“begitu..?”

“faktanya “ perempuan itu menaikkan alisnya yang tak terjamah pencukur alis itu sedikit.

“kalau dipikir kita ini mahkuk terjahat didunia ya…?

“ya kita rela membuang yang kita punya dan mencuri yang lain untuk membuat kita sendiri bahagia…”

“bahagia…?

“Semu…ha..ha…..ha….kikkikkikkik…….”

“itulah sebabnya aku lebih suka dianggap pembantu ataupun pelacur”

“Lha..????

“Ya aku merasa lebih dipunyai...”

“nanti kalau disiksa?”

“lebih bisa nrimo...”

“Lhoo??????”

“dibanding KDRT?”

“Lhaaaa?????”

Sudah biasa to di mediakita, kabarnya susaaah ....”

“kalau gajinya gak dibayar?”

“gampang colong aja hartanya trus kabuuur...”

“hahaha.....?”

“lucu ya????”

“lucunggak ya?”

“Hhhh........”

“Hhuuuhhh...”

“kalau diperk**a????”

“lihat dulu?”

“kamsudnye?”

“kalau yangmer**sa ganteng, tajir dan memuaskan nikmati ajeh......”

Plukkk........bantal kursi mendadak jatuh menimpa punggung, menyodok tawa yang terdengar garing, hakhakhak.................................................................

Ia meregangkan tubuhnya yang kaku oleh keharusan. Pada kemerdekaan yang tak bias direngkuh dengan semestinya.Ketika ratusan kubik air yang telah ia kotori untuk membuat kebahagiaan yang dicintainya terwujud sempurna.ketika kelelahan yang diabaikannya mulai merajuk, menggelitiki sendi-sendi ototnya yang mulai rapuh dimakan usia.

“lebih baik daripada tidak dianggap sama sekali”

“kamuflase!”

“ini kenyataan”

“Tapi berlebihan”

“Ya, mungkin.....hhh...”

Matahari selalu terbit di pagi hari dan tenggelam sore harinya.Dan memang demikianlah seharusnya.Maka hidup pun akan berjalan seperti seharusnya. Kadang senang dan kadang sedih, kadang kurang kadang lebih.Dan kadangkala harus mengalah pada kehidupan.Agar hidup berjalan lancar dan tenang.

Diseruputnya segelas air putih dari teko, air mentah yang direbus lalu didinginkan olehnya seperti masa kecilnya dulu, seperti masa kecil ibunya dulu, seperti masa lalu neneknya dan mungkin juga moyangnya dulu.Hanya bedanya dulu air bening itu dari sumurnya yang tak pernah kering, yang selalu ditimbanya setiap pagi sembari berolahraga.Tapi sekarang adalah air pam yang mengucur dari kran berbayar yang kadang berbau kaporit dan tak jernih.Perempuan lain didepannya terus melotot dengan heran memperhatikancaranya minum dan yang diminumnya.

“enak yang dingin bisa membuat pikiran adem”

“halah”

“kalau nggak yang hangat biar bersemangat”

“hahaha.....................”

“yang pakai oksigen biar konsentrasi”

“hihihi........................”

“yang pake rasa biar otak berwarna”

“hehehe......................”

“lebay ah...............”

“Preeeet........”

“alay ah..........”

“orang kita kan mudah tertipu..”

“maksud lo bodoh”

“Bukan?”

“lalu?”

“Keblinger?”

“Bisa jadi........”

“mereka pencandu kata-kata”

“kalau toh lebih bahagia?

“itu racun!”

“apakah salah”

“nggak juga.................”

“trus.................?”

“seperti junk food”

“tapi keren kan?”

“mungkin”

“lagi pula orang kita kan memang senang berkata-kata”

“ya yang nggak bisu”

“itu suara...kata tak perlu suara”

“tapi suara perlu kata?”

“seharusnya sih tidak”

“kenapa?”

“supaya menjadi dirinya sendiri”

“memangnya negeri kita penuh orang lain?”

“Menurutmu....?’

“Nggak semua keleee.....”

“Ya didalam kedirianya pasti tapi demi prestise”

“Misalnya......?”

“lihat aja gaya hidup, gaya bicara, gaya pakaian, gaya music sampai gaya makannya...”

“Trendy cuy..”

“buktinya lihatlah negeri orang mereka mempertahankan budayanya meskipun pengaruh negeri lain membanjiri negerinya”

“Ah jangan terlalu pedas, jangan-jangan kau yang tak bisa beradaptasi makanya sirik”

“haha.......benar, karena aku tak bisa melawan kata hatiku”

“itu dirimu, orang kan tak semuanya bisa seperti kau”

“Ya Cuma aku tak rela negeri ini berpesta kata sampai lupa bekerja”

“maksudnya?”

“bukti, bisnis kata-kata laris di negeri ini”

“misal?”

“ah sensitif ini”

“kau...”

“lihatlah sekelilingmu kau dikerubuti kata-kata......persis seperti monster lebah dalam film sains fiction semalam”

“hahaha...............”

“kata-kata adalah baju bagi jiwa yang lemah dan sakit-sakitan?”

“tameng?’

“lebih daripada”

“benteng?”

“yah....kira-kira begitulah”

“sadis...!!!”

“kenyataan.....”

“Hhhh.........”

“Hmmmmm”

“kau terlampau memfitnah kata-kata”

“kau belum terfitnah kata-kata”

“Mungkin juga aku terlena oleh kata-kata”

Kertas kecil itu mulai menggeliat lemah, tubuhnya sudah penuh oleh taburan abjad dan tanda baca, yag berbaris membentuk kata-kata, yang lalu terhimpun dalam paragraf-paragraf yang kemudian berjejalan kehabisan tempat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun