Aku menuju warung reot itu, dari jarak dua puluh kilo, terlihat wajah tua berkeriput itu tersenyum, ramah sekali. Entah apapaun yang ada di benaknya saat itu.Â
"Ibu, Nasi pakai kuah pecel tahu, tempe, nggak pakai sayur ya", pintaku sambil duduk.Â
Ketika ia menyiapkan bumbunya, ia mengajakku bebrincang-bincang sambil sesekali bertanya, Â "Sudah lama banget nggak ke sini mbak." Aku hanya cengengesan, sambil menjawab seadanya.Â
"Dulu mbak, kalau sehari masih jam sebelas aja, bayam ini, bayam rebus yang ibu masak, sudah habis 13 ikat. Tapi sekarang, jangankan 13 nak, satu ikat aja sehari susahnya minta ampun", katanya datar sambil mengulek bumbu.Â
Ada perih yang menjalar. Terbayang, bagaimana sulitnya kehidupan beliau. Apalagi dari kishanya, ia bahkan hingga di usianya yang sudah sepuh, masih tinggal ngekos. Lahaulawalaquwwata illa billah.Â
Dan tadi, aku baru saja menuju warungnya, dan memesan makananku sebagaimana biasanya. Ketika kuparkirkan motor, senyumnya masih sama. Belum lagi sempat aku turun, ia sudah berkata,Â
"Udah lama banget mbak nggak ke sini", lalu dihujami cerita-ceritanya.Â
Ah. Mudahkan rezekinya Rabb.Â
Maka, sederhananya hidup ini, makan, jangan memegang prinsip kenyang belaka, nikmat sahaja, murah doang. Jangan. Berusahalah di dalam makanan kita, ada oranglain yang bahagia. Dengan membeli makanan yang dijual oleh pedagang-pedagang sangat kecil, yang sudah tua, misalnya.Â
Maka, peganglah prinsip baru, bahwa apa yang kita beli, terkadang memang bukan karena kita menginginkannya, melainkan karena kita ingin membantu sang pedagang yang sangat kecil itu, dan semoga Tuhan menghitungnya sebagai sebuah kebajikan.Â
Jogja. Rindu. 24 Desember. 2018