Bentuknya sudah hampir roboh. Tak berwarna, tak beratap, dan tak berembel-embel layaknya warung biasa, dengan perabotan minimal terdapat tulisan, "warung makan", serta tulisan-tulisan lainnya yang menggugah hendak menyicinya. Tak ada.Â
Warung lotek itu sudah amat reot. Berdiri di bawah sebuah pohon jambu biji merah yang setiap setengah tahun berbuah lebat. lLetaknya di persimbangan jalan, berseberangan dengan simpang kost-ku. Tak ada istimewa-istimewanya warung itu, sungguh. Jikapun ada, mungkin sisi istimewanya adalah pemilik warung tua tersebut, yang sudah berusia hampir seratus tahun, namun masih memiliki pendengaran dan penglihatan sehat.Â
Tak hanya sekali, dua kali, tiga kali bahkan lebih, aku pernah mampir ke sana. Tentu tak hanya mampir belaka, sebab baginya, satu orang pembeli adalah sebuah anugerah besar. Mana mungkin aku mematahkan bahagianya dengan hanya duduk dan berbincang-bincang belaka.Â
Tubuhnya yang ringkih, tidak tinggi, dan berkeriput itu tampak selalu menyunggingkan senyum. Tak ada raut marah kepada takdir sebab sudah serenta itu, ia harus bekerja untuk sekedar makan sehari. Tak ada.Â
Ketika dahulu, jalanku menuju kampus masih lewat jalur pertama, tampak setiap pagi ibu itu dengan membawa sebuah wadah berukuran sedang menyeberangi jalan, menggunakan kebaya khasnya, rambutnya yang putih digulung, menyeberang, lalu menjemur beras yang gosong, alias kerak, yang nantinya akan digoreng dan dijual.Â
"Ya Allah, semoga rezekinya Engkau mudahkan", kataku dalam hati ketika menyaksikan tubuhnya yang sudah demikian tua.Â
Entah  sudah berapa lama aku tidak membeli makan ke sana. Meskipun sebenarnya, aku ke sana bukan disebabkan harganya yang terjangkau, juga bukan karena kualitasnya. Jika soal harga, kuakui bahwa harganya terbilang mahal, dan rasanyapun ya untuk mengenyangkan perut, alhamdulillah. (Semoga aku tidak salah memilih kata, hingga ada yang merasa gusar). Bukan. Sebab dengan uang yang kubelikan yang dapat lotek sebungkus di warung ibu tersebut, sudah dapat membeli nasi ayam di warung lain.Â
Hati yang tergerak, hanya itu alasan mengapa aku membelinya tak hanya sekali. Apalagi, pernah suatu ketika, entah untuk kali keberapa aku membeli ke sana, ia bercerita panjang kepadaku. Bukan dalam bentuk keluhan aku menilainya, tetapi lebih kepada ungkapan hati seorang tua.Â
Akh, aku membayangkan, bagaimana esok ketika ibuku sudah tua. Aku tahu persis, orangtua membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah, jika sekiranya anaknya tidak siap menjadi tempatnya bercerewet ria, maka hendak kemana sang ibu itu bercerita.Â
"Ah Rabb, berikan kami ketabahan mengurus orangtua kami ketika kelak mereka mulai kembali kepada masa kanak-kanaknaya, sebagaimana dahulu mereka amat tabah mengurus kami sata kecil",Â
Kala itu, mentari terik sekali. Perutku lapar. Cacing-cacing perut sudah demo di dalam. Pilihanku kali itu adalah warung lotek di persimpangan jalan kala itu.Â