Faktor Penyebab Kekerasan Verbal
 Dalam kehidupan sosial, kekerasan verbal dapat juga terjadi dilingkungan media sosial. Bentuk kekerasan verbal di media sosial tidak hanya berupa bullying namun juga 'jebakan' yang berujung pada kasus pornografi atau kejahatan seksual online. Naasnya sebagian pelaku dan korban kejahatan verbal di media sosial ini adalah wanita dan anak-anak. Dari uraian sebelumnya dapat dirumuskan faktor penyebab adanya kekerasan verbal pada anak di lingkungan keluarga dirumuskan dapat berupa tingkat pengetahuan, pengalaman, ekonomi, tekanan hidup, kondisi psikis, dan lingkungan.[3]
Â
Dampak Kekerasan Verbal
 Dampak dari kekerasan verbal pada anak adalah proses tumbuh kembang yang dipengaruhi oleh stimulasi yang didapatkan dari lingkungan termasuk proses pembentukan karakter anak. Kecenderungan anak menjadi pendiam, tertutup, menyendiri, bahkan jika kekerasan verbal dilakukan secara terus menerus maka akan merasa rendah diri, jelek, tidak dibutuhkan, tidak dicintai, tidak bahagia dan yang lebih buruk lagi adalah anak akan merasa dirinya sudah tidak berharga lagi dan dapat berakibat pada upaya bunuh diri. Dampak lain adalah anak dapat melampiaskan rasa kecewanya atau rasa depresinya kepada orang lain disekitarnya yang dapat berakhir pada tindakan kriminal. Tak jarang anak dapat meniru perilaku orang tuanya dan melampiaskannya kepada anak-anak lainnya.
 Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat data kasus perlindungan anak tahun 2016 sampai 2020 atas kasus yang terjadi di lingkungan pendidikan berupa korban bullying sebanyak 480, pelaku bullying sebanyak 437, anak korban bullying di media sosial sebanyak 361, dan pelaku bullying di media sosial sebanyak 360. Sedangkan jumlah kasus anak yang berhadapan dengan hukum sejak tahun 2016 sampai dengan tahun 2020 adalah sebanyak 6500 kasus. Mengacu kembali kepada Undang-Undang Hak Asasi Manusia, secara prinsip negara memiliki 3 kewajiban yaitu menghormati (to respect), memenuhi (to fulfil), dan melindungi (to protect) terutama kepada kelompok rentan (vulnerable groups). Peran pemerintah salah satunya tertuang melalui Pasal 52 Undang-Undang Hak Asasi Manusia yaitu setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Pasal 58 Undang-Undang Hak Asasi Manusia juga mengatur tentang hak setiap anak untuk memperoleh perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut. Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan bentuk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka dikenakan pemberatan hukuman.
Â
Peran Pemerintah
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat data kasus perlindungan anak tahun 2016 sampai 2020 jumlah kasus anak berhadapan hukum sebagai korban kekerasan psikis adalah sebanyak 328 kasus, sedangkan kasus anak berhadapan hukum sebagai pelaku kekerasan psikis adalah sebanyak 149 kasus. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan pengaturan lebih lengkap atas pemberian perlindungan anak. Undang-undang ini menyebutkan Hak Anak adalah bagian dari Hak Asasi Manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.[4] Undang-undang ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.[5] Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
- non diskriminasi;
- Â kepentingan yang terbaik bagi anak;
- Â hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
- Â penghargaan terhadap pendapat anak.[6]Â
 Hak anak untuk memperoleh perlindungan dalam dunia Pendidikan telah ditegaskan juga dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dalam Pasal 9 ayat (1a) yaitu hak anak untuk memperoleh perlindungan di satuan Pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan (baik fisik maupun mental) yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Hak anak ini tidak terkecuali kepada anak penyandang disabilitas. Anak penyandang disabilitas berhak memperoleh Pendidikan luar biasa dan anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan Pendidikan khusus[7]. Pemberian otoritas kepada negara untuk masuk ke wilayah privat ini didasarkan pada potensi khusus masyarakat kelompok rentan (vulnerable groups) menjadi korban dari pelanggaran hak asasi manusia, disitulahj negara wajib untuk memberikan perlindungan serta mengambil seluruh tindakan yang memungkinkan agar masyarakat kelompok rentan terlindungi, baik secara fisik maupun mental, dari seluruh potensi pelanggaran hak asasi manusia[8].
Â