KEKERASAN VERBAL PADA ANAK SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM
Â
Hak Asasi Manusia dan Bentuk Kekerasan Verbal pada Anak
Hak Asasi Manusia adalah sebuah hal yang fundamental yang dimiliki dan harus diperjuangkan oleh setiap manusia, namun pemahaman tentang pengertian Hak Asasi Manusia masih berbeda-beda. Menurut United Nation Human Rights dalam buku Human Rights (2016) menyebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada semua manusia yang bersifat universal karena didasarkan pada harkat dan martabat manusia tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, etnis, sosial, agama, bahasa, kebangsaan, orientasi seksual, disabilitas, atau karakteristik berbeda lainnya. Indonesia berdasarkan konstitusi yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 1 menyebutkan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Bentuk kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sudah cukup beragam mulai dari pelecehan seksual, penganiayaan, kekerasan, perdagangan manusia, penyiksaan, pemancungan, perbudakan dan masih banyak lagi. Indonesia sendiri masih melandaskan Pancasila sebagai ideologi negara dalam proses penegakan HAM. Perkembangan teknologi, budaya, dan zaman turut berpengaruh terhadap perkembangan bentuk pelanggaran HAM, salah satunya adalah kekerasan verbal. Kekerasan verbal seringkali terjadi tanpa disadari dan biasanya dilingkungan terdekat.Â
Kekerasan verbal dapat terjadi pada lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan pekerjaan, maupun lingkungan masyarakat. Kekerasan ini sering kali terjadi tanpa disadari dan kecenderungan terjadi pada wanita dan anak-anak. Wanita dan anak termasuk kelompok rentan (vulnerable groups)[1], hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan "setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya".Â
Â
Kekerasan verbal dapat diartikan setiap ucapan yang ditujukan kepada seseorang yang mungkin dianggap merendahkan, tidak sopan, menghina, mengintimidasi, rasis, seksis, homofobik, ageism atau menghujat (Jurnal Elementaria Edukasia, Vol 3 No. 2 Tahun 2020, Kekerasan Verbal dan Pendidikan Karakter). Termasuk membuat pernyataan sarkastik, menggunakan nada suara yang merendahkan atau menggunakan keakraban yang berlebihan dan tidak diinginkan (Johson, 2000). Kekerasan ini dapat berupa bullying maupun catcalling yang sasarannya adalah wanita dan anak-anak. Kekerasan verbal pada anak digolongkan dalam penganiayaan emosional.[2] Kekerasan verbal pada anak yang tanpa disadari terjadi di lingkungan keluarga antara lain berupa bentuk perilaku otoriter orang tua kepada anak, larangan berpendapat, diskriminasi terhadap anggota keluarga lainnya, manipulasi, berteriak atau membentak, menuduh anak melakukan sesuatu yang tidak dilakukan, tidak mau mendengarkan anak, mengancam dan bentuk lain yang tanpa disadari oleh orang tua. Pemahaman orang tua akan metode parenting atau pola asuh yang diperoleh dan diterapkan dapat memicu munculnya kekerasan verbal. Perkembangan dan tuntutan jaman juga berpengaruh terhadap pembentukan pola asuh orang tua, kekerasan verbal seringkali muncul pada pola asuh orang tua pekerja. Namun hal ini tidak disadari dan dianggap sebagai bentuk pola asuh yang diterapkan untuk membentuk karakter anak. Bonita Mahmud pada jurnal An-Nisa Vol 12, No. 2, Desember 2019 mengutip hasil penelitian Fitriana et al. (2015) bahwa pengalaman orang tua memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku orang tua dalam melakukan kekerasan verbal pada anak pra-sekolah. Orang tua yang memiliki pengalaman pola asuh yang baik akan memiliki kecenderungan untuk melakukan hal yang sama pada pada anaknya.Â
Â
Kekerasan verbal dapat juga terjadi di lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Pelaku kekerasan verbal dapat berupa tenaga pendidik, teman sebaya, kakak kelas, maupun petugas di lingkungan pendidikan. Seorang tenaga pendidik tanpa disadari dapat melakukan kekerasan verbal dengan melakukan diskriminasi terhadap anak didik, melabeli anak didik, body shamming, serta membentak. Secara langsung bentuk kekerasan verbal yang terjadi berulang berdampak terhadap perkembangan psikis anak dan pertumbuhannya. Menurut Jurnal Elementaria Edukasia, Vol 3 No. 2 Tahun 2020, Kekerasan Verbal dan Pendidikan Karakter, kekerasan verbal menjadi lebih buruk daripada kekerasan fisik karena merupakan bentuk kekerasan psikologis. Kekerasan jenis ini menyerang emosional serta mental anak. Dalam konsep yang lebih luas kekerasan verbal dapat dikatakan sebagai bentuk penganiayaan terhadap anak yang merusak perkembangan diri, kompetensi sosial, serta pola psikisnya. (Noh & Talaat, 2012).
Â
Faktor Penyebab Kekerasan Verbal
 Dalam kehidupan sosial, kekerasan verbal dapat juga terjadi dilingkungan media sosial. Bentuk kekerasan verbal di media sosial tidak hanya berupa bullying namun juga 'jebakan' yang berujung pada kasus pornografi atau kejahatan seksual online. Naasnya sebagian pelaku dan korban kejahatan verbal di media sosial ini adalah wanita dan anak-anak. Dari uraian sebelumnya dapat dirumuskan faktor penyebab adanya kekerasan verbal pada anak di lingkungan keluarga dirumuskan dapat berupa tingkat pengetahuan, pengalaman, ekonomi, tekanan hidup, kondisi psikis, dan lingkungan.[3]
Â
Dampak Kekerasan Verbal
 Dampak dari kekerasan verbal pada anak adalah proses tumbuh kembang yang dipengaruhi oleh stimulasi yang didapatkan dari lingkungan termasuk proses pembentukan karakter anak. Kecenderungan anak menjadi pendiam, tertutup, menyendiri, bahkan jika kekerasan verbal dilakukan secara terus menerus maka akan merasa rendah diri, jelek, tidak dibutuhkan, tidak dicintai, tidak bahagia dan yang lebih buruk lagi adalah anak akan merasa dirinya sudah tidak berharga lagi dan dapat berakibat pada upaya bunuh diri. Dampak lain adalah anak dapat melampiaskan rasa kecewanya atau rasa depresinya kepada orang lain disekitarnya yang dapat berakhir pada tindakan kriminal. Tak jarang anak dapat meniru perilaku orang tuanya dan melampiaskannya kepada anak-anak lainnya.
 Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat data kasus perlindungan anak tahun 2016 sampai 2020 atas kasus yang terjadi di lingkungan pendidikan berupa korban bullying sebanyak 480, pelaku bullying sebanyak 437, anak korban bullying di media sosial sebanyak 361, dan pelaku bullying di media sosial sebanyak 360. Sedangkan jumlah kasus anak yang berhadapan dengan hukum sejak tahun 2016 sampai dengan tahun 2020 adalah sebanyak 6500 kasus. Mengacu kembali kepada Undang-Undang Hak Asasi Manusia, secara prinsip negara memiliki 3 kewajiban yaitu menghormati (to respect), memenuhi (to fulfil), dan melindungi (to protect) terutama kepada kelompok rentan (vulnerable groups). Peran pemerintah salah satunya tertuang melalui Pasal 52 Undang-Undang Hak Asasi Manusia yaitu setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Pasal 58 Undang-Undang Hak Asasi Manusia juga mengatur tentang hak setiap anak untuk memperoleh perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut. Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan bentuk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka dikenakan pemberatan hukuman.
Â
Peran Pemerintah
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat data kasus perlindungan anak tahun 2016 sampai 2020 jumlah kasus anak berhadapan hukum sebagai korban kekerasan psikis adalah sebanyak 328 kasus, sedangkan kasus anak berhadapan hukum sebagai pelaku kekerasan psikis adalah sebanyak 149 kasus. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan pengaturan lebih lengkap atas pemberian perlindungan anak. Undang-undang ini menyebutkan Hak Anak adalah bagian dari Hak Asasi Manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.[4] Undang-undang ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.[5] Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
- non diskriminasi;
- Â kepentingan yang terbaik bagi anak;
- Â hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
- Â penghargaan terhadap pendapat anak.[6]Â
 Hak anak untuk memperoleh perlindungan dalam dunia Pendidikan telah ditegaskan juga dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dalam Pasal 9 ayat (1a) yaitu hak anak untuk memperoleh perlindungan di satuan Pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan (baik fisik maupun mental) yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Hak anak ini tidak terkecuali kepada anak penyandang disabilitas. Anak penyandang disabilitas berhak memperoleh Pendidikan luar biasa dan anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan Pendidikan khusus[7]. Pemberian otoritas kepada negara untuk masuk ke wilayah privat ini didasarkan pada potensi khusus masyarakat kelompok rentan (vulnerable groups) menjadi korban dari pelanggaran hak asasi manusia, disitulahj negara wajib untuk memberikan perlindungan serta mengambil seluruh tindakan yang memungkinkan agar masyarakat kelompok rentan terlindungi, baik secara fisik maupun mental, dari seluruh potensi pelanggaran hak asasi manusia[8].
Â
Ancaman Pidana
Undang-Undang Perlindungan Anak juga mengatur tentang hukuman dan ancaman pidana bagi pelaku kekerasan verbal kepada anak. Dalam Pasal 80 ayat (1) mengatur terhadap setiap orang yang melakukan, menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melakukan, kekerasan (fisik maupun mental) terhadap anak diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Â
Pencegahan Kekerasan Verbal
 Dengan tidak disadarinya kekerasan verbal sebagai bentuk pelanggaran HAM, langkah apa yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan verbal? Parancika, Fitriadi Wibowo dalam Papernya berjudul Kekerasan Verbal (Verbal Abuse) di Era Digital sebagai Faktor Penghambat Pembentukan Karakter, menyebutkan pada era digital ini upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah perilaku kekerasan verbal diantaranya:
- menghindari berita hoax;
- menanamkan kebiasaan berperilaku baik sejak usia dini;
- membiasakan kritik positif;
- membuat iklan persuasi sebagai bentuk mempererat hubungan sosial;
- menghargai privasi orang lain;
- senantiasa menggunakan alat komunikasi secara proporsional;
- menjaga etika berkomunikasi; dan
- menghindari konten berbentuk sara serta rasis.
 Tak kalah penting, Pendidikan karakter merupakan salah satu cara menekan terjadinya kekerasan verbal. Pendidikan karakter bertujuan menciptakan individu yang bersifat humanis, bermoral, memiliki budi pekerti yang luhur dan paham moderat[9]. Tingkat Pendidikan dan kesadaran orang tua untuk mempelajari parenting juga memberikan peran penting dalam Pendidikan karakter anak. Tidak hanya bertujuan untuk membentuk pribadi anak secara sehat fisik dan mental namun juga untuk pola asuh dimasa depan.Â
Â
Kesimpulan
Bentuk kekerasan verbal pada anak dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Lingkungan keluarga memberi peran penting dalam pembentukan karakter anak. Lingkungan Pendidikan dan sosial menjadi faktor pendukung lainnya dalam proses pembentukan karakter anak. Kekerasan verbal dalam keluarga seringkali disalahartikan sebagai bentuk pola asuh untuk membentuk karakter anak. Namun seringkali orang tua dengan faktor tingkat Pendidikan, tingkat ekonomi, pengalaman, tekanan hidup, kondisi psikis, dan lingkungan mempengaruhi metode "parenting" berujung pada kekerasan verbal bahkan berujung pada kekerasan fisik. Kekerasan verbal dapat dicegah dengan pembentukan Pendidikan karakter dan metode parenting yang benar. Pemerintah juga telah mengambil perannya melalui pengaturan tentang hak anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak serta peran serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H