Kegaduhan di dunia maya terkait penyelamatan dua satwa liar dilindungi di Jawa Barat sepanjang Juni 2019 ini mengingatkan saya pada istilah umwelt.Â
Kegaduhan pertama terkait penyelamatan macan kumbang yang masuk ke Kampung Cimalingping, Kab. Subang. Selain itu ada pula kegaduhan atas kisah penyelamatan Iteung, seekor lutung jawa, di salah satu objek wisata di Cijapati, Kabupaten Bandung.
Netizen.. oh..netizen.
Gaduh
Memasuki Juni, warga Subang dikejutkan dengan kehadiran seekor macan kumbang jantan yang memasuki kampung. Sang macan sempat mengakibatkan Juju, warga Kampung Cimalingping, menderita luka serius di bagian kepala.
Juju dan macan kumbang berpapasan di sebuah gang sempit, keduanya kaget dan terjadilah peristiwa naas itu. (Berita terkait)
Netizen gaduh, video pengejaran macan kumbang malang beredar di dunia maya. Sebagian menyemangati penduduk yang hendak menangkapnya, yang lain berteriak mengingatkan jangan sampai satwa malang itu dibunuh.Â
Macan kumbang merupakan salah satu satwa liar dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. 106/2018. Status ini diberlakukan karena populasinya di alam terus menyusut.
Upaya penyelamatan segera dilakukan. Berkat kerjasama warga setempat, kader konservasi, Polres Subang, JAAN, tim dokter Kebun Binatang Bandung dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jabar, macan berhasil diselamatkan dari kejaran warga.Â
Macan jantan yang diperkirakan berusia kurang dari lima tahun ini kemudian dititip rawat di Kebun Binatang Bandung untuk fase observasi selama 14 hari sekaligus merawat luka. (Berita terkait)
Netizen kembali gaduh, sebagian meminta segera lepas liar di habitat asal. Sebagian lain menanyakan nasib macan kumbang di kebun binatang, apalagi masih ditempatkan di kandang transport dalam ruang terisolasi. Kinerja BBKSDA Jabar juga jadi sorotan. Mengutip pernyataan Lambe Turah, netizen maha tau..
Kegaduhan lain menimpa kisah penyelamatan lutung di salah satu objek wisata di Cijapati, Kabupaten Bandung. Satwa malang ini jadi salah satu atraksi wisata. Kader konservasi yang melaporkan keberadaannya ke BKSDA setempat kemudian menamainya Iteung, tokoh pasangan Si Kabayan yang ikonik dalam dongeng Sunda.
Bagaimana dengan netizen? Dalam kasus ini netizen bersikeras meminta petugas BKSDA setempat segera mengambil lutung malang dari objek wisata itu. Permasalahan penyelamatan terjadi karena saat itu masih masa libur lebaran sehingga arus lalu lintas sangat padat.Â
Kondisi ini mempersulit petugas mencapai lokasi dan diperkirakan waktu tempuh menuju kantor BKSDA (sebagai tempat transit) atau Aspinall (sebagai tempat rehabilitasi) akan sangat panjang. Dilema pun terjadi, netizen keukeuh.. situasi lapanggan tidak memungkinkan.
Umwelt merupakan istilah yang populer di Eropa (terutama Jerman) yang secara sederhana merujuk pada dunia alam. Listyo Yuwanto, Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, memaparkan umwelt sebagai pandangan tentang dunia menyatakan bahwa hanya manusia yang memiliki penghayatan terhadap dunia (Lebenswelt) sedangkan satwa mempunyai umwelt.Â
Maksud umwelt adalah satwa memiliki interaksi dengan lingkungan namun lingkungan tidak dapat dihayati secara langsung, binatang dideterminir oleh kekuatan di luar.
Yuwanto mencatat kontrol manusia terhadap satwa dan tumbuhan dapat bermanfaat positif untuk kesejahteraan hidup manusia ataupun tumbuhan dan satwa.Â
Namun tidak jarang terjadi sebaliknya, terjadi dominasi manusia terhadap satwa dan tumbuhan bahkan terhadap alam sehingga seringkali memunculkan dampak terjadinya ketidakharmonisan alam.
Apa kaitan umwelt dengan kedua kasus ini? Penulis melihat kedua kasus ini mengingatkan kita untuk memahami umwelt. Dalam konteks komunikasi, upaya memahami dan menempatkan diri pada posisi orang lain dinamakan empati. Empati seringkali digambarkan sebagai 'berada di dalam sepatu orang lain' atau 'melihat dari mata orang lain'.Â
Dalam kasus ini umwelt bermakna kita menempatkan diri dalam posisi satwa, memahami kebutuhan termasuk prioritas dalam situasi darurat semacam ini.
Marilah kita mulai berempati pada satwa, mari kita pahami umwelt sang macan kumbang dan lutung malang itu. Keduanya telah mengalami penderitaan karena terdesak di habitatnya (sebagai lingkungan alami dan utama bagi mereka) kemudian terpaksa masuk ke 'ruang manusia' nan kejam.Â
Hilangkan perspektif antroposentris, pikiran yang berpusat pada kepentingan manusia, yang menganggap macan kumbang sebagai ancaman dan lutung sebagai hiburan.
Umwelt Macan Kumbang
Tanpa bermaksud mengecilkan derita Juju yang mengalami luka serius di bagian kepala, sejatinya macan yang malang itu menyerang karena kaget. Bagi satwa liar, manusia merupakan top predator sehingga pertemuan dengan manusia sangat mungkin diartikan sebagai ancaman.Â
Bagi sang macan, apa yang dilakukannya adalah upaya membela diri, bukan hasrat memangsa seperti yang sempat dibahas sejumlah netizen.
Upaya pengejaran, penangkapan dan pemindahan sementara ke Kebun Binatang Bandung bagi macan merupakan peristiwa luar biasa yang menjadi konsekuensi pertemuannya dengan manusia. Tentu saja ini terasa sebagai ancaman baru.Â
Apalagi kemudian macan ditempatkan dalam kandang terisolasi dengan pakan yang berbeda dari pakan sehari-hari di alam. Kandang bukanlah rumah alaminya, ini adalah rang asing baginya. Berempatilah, situasi ini pasti memunculkan stress bagi makhluk manapun!
Dalam situasi seperti ini pilihan lepas liar sesegera mungkin sesuai tuntutan netizen memang benar adanya. Pertanyaannya adalah, kapan? Dan di mana? Keterangan Drh.Â
Dedi, dokter hewan Kebun Binatang Bandung yang menangani sang macan kumbang, menyatakan naluri liarnya masih bagus. Inilah poin penting untuk mengembalikannya ke alam liar. Semakin lama dia berada di alam keduanya akan mengancam naluri liarnya, semakin sulit pula dilepas liar.
Maka pertanyaan berikut menjadi kunci, di manakah lokasi rilisnya? Marilah kita kembali berempati. Perhatikan kondisi fisik sang macan. Ini adalah macan jantan remaja yang dalam masa mengembara di kawasan sekitar kawasan inti macan kumbang jantan yang dominan.Â
Ini berarti, sang macan tengah dalam fase menyiapkan kekuatan untuk menjadi pejantan dominan yang menguasai wilayah. Menempatkan macan kumbang muda dekat dengan wilayah macan dewasa dominan akan membahayakan jiwa.
Kehadirannya ke perkampungan menjadi salah satu penanda sang macan muda ini tengah mencari wilayah baru untuk bertahap hidup. Di sinilah kita perlu mencari lokasi yang memiliki tingkat kompetisi yang sesuai bagi macan kumbang muda ini.Â
Tak perlu memaksakan dikembalikan ke habitat asal jika langkah itu malah akan mengancam jiwanya. Di sini perlu kejelian dan kesabaran meski tak lupa pada waktu yang terus mengancam.
Sayang sekali data populasi dan peta sebaran macan tutul di Jawa Barat sangat terbatas. Dalam sebuah kesempatan Anton Ario dari Conservation International Indonesia sempat memaparkan keterbatasan ini. Walhasil demi upaya lepas liar segera, data yang terbatas ini memang menjadi satu-satunya bahan untuk menentukan lokasi lepas liar.Â
Lebih baik mengambil keputusan berdasarkan data yang terbatas daripada memaksakan menentukan lokasi lewat sentimen kedaerahan.Â
Namun jangan lengah, keterbatasan data ini mengingatkan negara perlu sesegera mungkin dilakukan pendataan populasi, sebaran dan habitat macan tutul. Ini sudah darurat!
Umwelt Iteung, Sang LutungÂ
Kisah Iteung berbeda. Setelah tercerabut dari habitat asalnya, Iteung terdampar di sebuah objek wisata dengan fasilitas seadanya. Iteung dipaksa bertahan hidup di tengah sorotan manusia pengunjung objek wisata. Iteung terpaksa menyesuaikan diri, dia pun sangat jinak terhadap kehadiran manusia.
Pakannya pun berubah, lutung yang sejatinya memakan buah dan tumbuhan tertentu harus menerima dicekoki pisang, makanan instan bahkan gorengan! Alhasil saat ditemukan Iteung mengalami dehidrasi dan kekurangan gizi.
Wajar jika kita geram sekaligus cemas dengan keadaan Iteung. Tuntutan netizen untuk segera mengevakuasi Iteung dari objek wisata memang sangat wajar.Â
Di lapangan, permasalahannya tak sesederhana itu. Situasi lalu lintas menyulitkan proses evakuasi. Musim liburan lebaran mengakibatkan kemacetan yang menggila sehingga waktu tempuh menjadi sangat panjang.
Marilah kita berempati, memaksakan evakuasi segera akan menempatkan Iteung berada dalam kandang transport dalam waktu lama, dan menempatkannya di tengah kemacetan dengan polusi knalpot kendaraan sepanjang perjalanan tentu bukan hal baik baginya.Â
Iteung bisa menderita karena ruang gerak terbatas di kandang transport dan terkena paparan emisi buangan kendaraan bermotor. Risiko lain yang harus dihadapi Iteung adalah potensi deraan panas atau hujan sepanjang perjalanan. Situasi ini sangat memungkinkan satwa menderita stress yang mungkin saja mengancam jiwanya.
Kisah Iteung memang berakhir dengan harapan besar, mengutip akun media sosial Humas BBKSDA Jabar, hasil pemantauan terakhir, Iteung cukup baik nafsu makan dan aktivitasnya, namun sedikit mengalami dehidrasi dan kekurangan gizi.Â
Lutung jawa yang dievakuasi dari daerah Cijapati, Kabupaten Bandung tanggal 10 Juni 2019 lalu, saat ini berada di Pusat Rehabilitasi Primata yang dikelola oleh The Aspinall Foundation.
Kini dia menempati kandang karantina selama 90 hari sebelum bergabung dengan kelompok lutung lainnya. Keberadaan Iteung di pusat rehabilitasi bereputasi sangat baik dalam mengantarkan primata jawa sukses lepas liar ini memunculkan harapan besar, Iteung bisa kembali ke alam (lingkungan alami dan utamanya), menemukan jodoh dan beranak pinak.
Tulisan ini tak bermaksud menyalahkan netizen yang sudah berbaik hati memberikan perhatian besar pada satwa. Inilah kasih sayang tulus yang masih dimiliki manusia kepada makhluk ciptaan-Nya.Â
Marilah kita lengkapi kasih sayang itu dengan pengetahuan yang memadai dan kemampuan berempati. Umwelt dan empati menjadi kunci. Prung!***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H