Tentu kita telah mengenal seorang ulama besar yang masyhur bernama Imam Al-Ghazali. Beliau lahir di Persia (Iran) abad ke-5, tepatnya tahun 450 hijriyah. Al-Ghazali merupakan ulama ushul fikih, namun beliau lebih dikenal sebagai ulama tasawuf dan tokoh filsafat Islam.Â
Salah satu karya al-Ghazali yang fenomenal adalah kitab "Ihya Ulumuddin" (kebangkitan ilmu agama). Kitab ini membahas banyak hal tentang ruh, jiwa, akal ('aql), nafsu, dan hati (qalb), serta kaidah-kaidah dalam pembersihan hati (qalbun salim) dan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs).
Dialog Murid dan Guru
Dalam bab buku Ihya Ulumuddin yang membahas mengenai penyakit hati, diilustrasikan sebuah dialog antara seorang murid dengan gurunya.
Sang murid bertanya, "Syeikh, bukankah dzikir bisa membuat seseorang lebih dekat dengan Allah dan syaitan akan terusir menjauh darinya?"
"Benar," jawab sang Imam.
"Namun kenapa masih ada orang yang rajin berdzikir tetapi masih sering tergoda oleh syaitan?" lanjut sang Murid.
Gurunya menjawab: "Mengusir syaitan itu seperti mengusir anjing. Kalau kita hardik anjing maka ia akan lari menyingkir. Tapi jika disekitar diri kita masih terdapat banyak sampah tulang belulang, yang merupakan makanan kesukaan anjing maka ia akan datang kembali.
Sang Guru melanjutkan, "Begitu pula halnya dengan dzikir. Syaitan itu sangat menyukai kotoran hati, sebagaimana anjing suka tulang belulang. Orang-orang yang rajin berdzikir tapi masih menyimpan pelbagai kotoran hati dalam dirinya maka syaitan akan terus datang mendekat, bahkan bersahabat dengannya".
Dzikir tidak akan bermanfaat jika di dalam hati seseorang masih banyak kotoran hati, kesukaan syaitan. Â Kotoran hati bisa juga disebut dengan penyakit hati.