Baca juga:Â Kembali ke Al-Quran dan Hadits?
Contoh lain, Utsman ibn Affan  menambah adzan shalat Jumat menjadi dua kali karena sikon masyarakat yang makin banyak dan meluas, tetapi adzannya sama yang bertujuan memanggil shalat. Demikian pula dengan Abdullah bin Amr yang berpuasa ala nabi Daud, yang Rasulullah tidak mengamalkannya namun membenarkannya. Demikian halnya dengan Khubaib bin Adi yang melaksanakan shalat dua rakaat sesaat sebelum dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy.
Berikutnya kemudian adalah para ulama mazhab Imam Syafi'i yang mengamalkan "dzikir berjama'ah" seusai shalat berjamaah. Dzikir bukan merupakan amalan baru yang mengada-ada, karena dzikir melantunkan kalimah toyibah sesuai ajaran nabi.
Perlu kita pahami pula bahwa sebuah hadis tidak bisa diklaim mutlak kebenarannya. Karena satu peristiwa yang dilakukan oleh Rasulullah bisa muncul dalam beberapa hadis dengan teks yang berbeda. Hal itu memungkinkan terjadi karena disaksikan oleh beberapa sahabat sebagai perawi pertama dengan sudut pandang dan persepsi yang berbeda. Kemudian disampaikan kepada perawi berikutnya dan ditulis dalam bentuk teks berita dengan kemampuan intelektual yang berbeda pula.
Satu contoh misalnya, bagaimana posisi kedua tangan saat sikap berdiri dalam shalat. Satu sunnah rasul bisa tertulis dalam hadis dengan banyak versi, yakni ada yang bersedekap di atas dada, di bawah dada, di perut, dan di atas pusar maupun di bawah pusar. Bahkan ada pula hadis yang menyatakan meluruskan kedua tangan ke bawah.Â
Perbedaan dalam matan (redaksi) hadis ini menyebabkan empat imam mazhab besar juga berbeda dalam hal ini. Namun bukan persoalan bagi para ulama yang bijak, semuanya benar tidak ada yang salah karena nabi sendiri tidak pernah mengoreksinya.
Menilai Kualitas Hadis
Banyak orang, terutama yang berorientasi fiqih mempertentangkan kualitas sebuah hadis untuk menentukan derajat kepercayaannya, apakah termasuk dalam kategori shahih (valid), hasan (baik), dhaif (lemah), atau maudhu (palsu).
Namun bagi kalangan yang berorientasi tasawuf, mereka tidak terlalu terpengaruh dengan status atau kualitas sebuah hadis. Mereka akan menerima suatu hadis atau ajaran dengan prinsip asal tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan berdampak positif terhadap kualitas keimanan.Â
Bilamana sebuah hadis (apapun klasifikasinya) bila sudah sesuai dengan prinsip tersebut, maka mereka akan ambil dan amalkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Cara sederhana menilai sebuah hadis, apakah sesuai 'sunnah rasul' atau tidak adalah dengan empat tahap. Pertama, isi hadis tidak bertentangan dengan al-Qur'an. Kedua, tidak bertentangan dengan hadis lain. Ketiga, makna hadis harus logis, sesuai dengan nalar akal sehat. Dan keempat, sesuai dengan nilai-nilai universal, yakni mengandung unsur kebajikan, kemanfaatan, toleran, manusiawi, kasih sayang, adil, dan seterusnya.