Mohon tunggu...
Rinda Gusvita
Rinda Gusvita Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Institut Teknologi Sumatera

MSc on Agro-industry Technology. Saya philantropist yang senang membaca, jalan-jalan, berjuang untuk eco-friendly lifestyle, memetik pelajaran dari mana pun kemudian membagi-bagikannya. Bisa kontak saya di rindavita@gmail.com atau keep in touch lewat akun media sosial dan www.rindagusvita.com. Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Adakah Warga Bandar Lampung Peduli akan RTH di Kotanya?

18 April 2016   22:55 Diperbarui: 18 April 2016   23:20 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 “Saya pengen tanya ke Mbak Rinda, gimana caranya kami ibu rumahtangga ini bisa turut serta mewujudkan RTH? Apa cukup dengan menanam cabai...?”

tanya Bu Rini di Sukarame.

 [caption caption="Tahura Dago Pakar, Bandung, Jawa Barat"][/caption]Mendapat pertanyaan sekaligus respon pendengar seperti di atas adalah mood booster yang tak boleh dianggap sepele bagi saya. Itu terjadi di menit ke lima puluh ketika saya on air bersama Bang Ferry, penyiar RRI Pro 1 Lampung, Rabu (13 April 2016) lalu.

Saya diberi kesempatan untuk bicara dalam talkshow interaktif oleh Mbak Niken dari RRI. Saya nggak sendirian, ada Kak Herry di menit ke empat puluh. Iya, kak Herry agak telat.  Mengusung tema Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bandar Lampung, talkshow yang digelar memang terbilang mengangkat tema seksi. Pasalnya, pro dan kontra masyarakat Bandar Lampung dan sekitarnya terkait rencana perombakan Stadion Pahoman menjadi RTH yang juga menimbulkan silang pendapat antara Pemprov Lampung dan Pemkot Bandar Lampung.

Pemprov Lampung menyatakan bahwa Lampung butuh RTH, dan Stadion Pahoman sangat layak dijadikan RTH karena hingga saat ini stadion itu nampak sangat eksklusif dan tertutup bagi warga umum. Sedangkan Pemkot Bandar Lampung menilai bahwa Stadion Pahoman adalah aset yang sarat potensi sekaligus bersejarah.

FYI, Stadion Pahoman merupakan stadion terbesar berstandar nasional yang dimiliki Provinsi Lampung. Pembangunannya dilakukan dengan menggunakan dana bantuan dari negara dengan total nilai aset kurang lebih Rp. 6,8 milyar. Kalau stadion itu dibongkar, artinya nilai milyaran itu akan hilang. Sejarah kesuksesan dunia olahraga Lampung juga bakal nggak berbekas.

Namun dalam talkshow satu jam di RRI itu sama sekali nggak menyinggung soal rencana ini. Bang Ferry lebih mengarahkan obrolan pada peran masyarakat dan WALHI Lampung dalam upaya mewujudkan target luasan RTH minimal 30% dari luas wilayah keseluruhan. Oh iya, saya bicara di sana sebagai seorang aktivis WALHI. Bukan membawa jabatan tertentu karena memang saya hanya sebagai relawan di lembaga forum terbesar di Indonesia itu. Sedangkan Kak Herry adalah Manajer Pendidikan dan Keorganisasian di WALHI Lampung.

Salah satu pertanyaan yang nggak sempat saya jawab adalah tentang sanksi bagi pelanggar aturan terkait RTH bagi swasta. Pertanyaan ini cukup menyentil saya dan sebenarnya bisa menjadi perkara dan bahasan yang panjang.

Dalam Undang-undang Penataan Ruang (UUPR) No. 26 Tahun 2007, pemberian sanksi bagi pelanggar tata ruang dapat diberikan melalui tiga tingkatan. Pertama, hukuman pidana tiga tahun dan denda 500 juta bagi pengguna yang sengaja merubah peruntukan ruang, pidana 8 tahun dan denda 1,5 Milyar bagi pengguna yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat dan pelanggaran yang menimbulkan korban jiwa akan dikenakan hukuman pidana sampai 15 tahun dan denda 5 Milyar. Sanksi-sanksi pidana dan administratif tersebut telah tertuang dalam UU Penataan Ruang, khususnya Pasal 69.

Saya sendiri menilai bahwa penerapan sanksi pelanggaran aturan terkait RTH masih sangat longgar. Coba perhatikan masifnya pembangunan hotel, ruko, dan mall di Kota Bandar Lampung. Apakah ini disertai dengan pewujudan syarat-syarat seperti penyediaan sumur resapan, pepohonan, sistem pengelolaan limbah cair dan padat, hingga terjadinya pelanggaran sempadan sungai oleh pihak swasta. Alih-alih dilakukan pembongkaran, pemerintah kita cenderung permisif dengan menganggap masalah ini selesai setelah pihak pemilik kapital itu menyediakan beberapa pohon di pot-pot di depan hotelnya.

UU No. 26 Tahun 2007 dengan jelas mengharuskan setiap kota, menyiapkan 30% untuk ruang terbuka hijau. Aturan itu dipertegas lagi dengan munculnya  Peraturan Daerah (Perda) No. 6 Tahun 2012 tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB).  Dalam aturan ini, izin pendirian bangunan dengan luas areal pekarangan minimal 200 meter persegi dikeluarkan dengan catatan pihak pemohon menyiapkan 30 persen dari luas areal pekarangan tersebut sebagai RTH.

Di sinilah fungsi kita sebagai warga seharusnya dijalankan. Bersama-sama mengawal proses pembangunan berwawasan lingkungan. Jangan lantas berhenti melakukan protes setelah diberi dana kompensasi yang langsung habis nggak sampai sebulan. Atau berhenti berteriak setelah masalah kekurangan airnya dipenuhi oleh pihak tergugat. Lalu, generasi setelah kita dapat apa? Diwarisi apa? Masalah?

Masih Adakah Harapan untuk Bandar Lampung Pulih?

Sekedar mengingatkan pembaca, bahwa Pemkot Bandar Lampung pernah punya ‘impian luhur’ yang tertulis dalam Perda Kota Bandar Lampung Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Tahun 2011-2030 (bisa didownload di sini). Pasal 10 Ayat 6, berbunyi:

 “Strategi untuk pelestarian lingkungan alami dan keanekaragaman hayati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:

a. mengembangkan hutan lindung, taman kota, jalur hijau jalan dan RTH kota yang lain sebagai area konservasi eksisting;

b. menata bukit dan gunung sebagai area konservasi baru;

c. menciptakan area konservasi alternatif di bantaran sungai, daerah milik jalan kereta api, dan area lain yang memiliki kualitas lingkungan yang rendah; dan

d. melestarikan dan mengembangkan keanekaragaman hayati lokal di area konservasi

dan dalam aturan itu pula, kawasan hijau Taman Hutan Kota Way Halim Bandar Lampung beralihfungsi menjadi kawasan cadangan pengembangan ekonomi dan bisnis.

Kalau ada informasi update aturan ini, saya mohon info. Karena seingat saya ada Perda Tahun 2012 tapi saya lupa persisnya file saya ada dimana. *my hardest problem*

Melalui respon dan pertanyaan dari para penelepon dalam talkshow yang beragam itu, saya sangat optimis bahwa warga Bandar Lampung sebenarnya sangat peduli untuk membangun kotanya. Nggak usahlah muluk-muluk bicara dan mengharapkan kota dengan taman-taman beraneka ragam seperti di Bandung. Nggak usah juga ngarep ada Taman Bungkul  yang justru pernah rusak gara-gara ulah warganya yang rebutan eskrim.

 Kalau semua upaya ini kita mulai dari kesadaran individu, bukan nggak mungkin Bu Rini di Sukarame bisa menjadi inisiator kampung ramah lingkungan di Bandar Lampung. Menyulap gang-gang sempit di kota jadi asri dengan aneka sayuran, bumbu dapur, apotek keluarga, dan sedikit bunga-bunga. Memanfaatkan lahan yang tersisa dengan ditanami pohon buah-buahan. 

Menggunakan rooftop sebagai lahan berkebun mini nan asri. Juga menanam sampah organik di dalam lubang-lubang biopori di sekitar rumah tinggal daripada menyulapnya menjadi lahan beton dengan segala resiko yang bakal ada.

Bu Rini bertanya, apakah WALHI menyediakan bibit pohon? Sebenarnya ini belum saya diskusikan dengan kawan-kawan bagaimana program lanjutan yang sedang berjalan. Tapi menurut hemat saya,  terlalu repot jika WALHI harus menyediakan bibit pohon. Belum lagi urusan advokasi berbagai kasus lingkungan yang seperti nggak pernah ada habisnya di provinsi ini.

WALHI adalah lembaga forum dimana anggotanya adalah lembaga-lembaga terkait. Ada 14 lembaga yang tergabung sebagai anggota WALHI Lampung termasuk Mahasiswa Pecinta Alam. Melalui peran lembaga anggota itulah WALHI akan bisa menyentuh aksi hingga grassroot.

Saya pikir, para ibu, para pemuda, atau siapapun yang peduli bisa berkumpul. Membentuk suatu perkumpulan sehingga kelak bisa melahirkan ide dan gagasan untuk pembangunan kualitas lingkungan di sekitarnya. Setelah itu, kelompok-kelompok kecil itu tadi bisa menghubungi lembaga anggota WALHI, atau datang dan ‘colek’ saja WALHI di media sosial. 

Kelak akan terbangun gerakan masif yang memudahkan bantuan datang. Bukan sekedar bibit, bisa jadi bantuan berupa aktivitas pembangunan kapasitas sehingga kelompok-kelompok tadi jadi lebih paham, lebih tau, lebih bisa memanfaatkan IPTEK untuk kemajuan lingkungan.

Coba tengok informasi tentang bantaran sungai Amprong di Kelurahan Kedungkandang, Kota Malang. Lahan seluas kurang lebih 172 meter persegi itu kini berubah menjadi RTH yang benar-benar menjadi public space bagi warga sekitar. Jangan salahkan pemerintahnya, karena ide untuk mengubah bantaran kali menjadi RTH ini justru datang ari inisiatif warga. Bahkan konon dari total dana yang digunakan untuk mewujudkan RTH ini, Pemkot Malang hanya menyumbang 10%-nya saja. Sisanya darimana? Tentu swadaya masyarakat yang memang sadar betul akan pentingnya RTH di wilayahnya.

Terakhir kali saya bicara tentang RTH adalah sebelum saya berangkat kuliah ke Jogja tahun 2012 lalu. Waktu itu saya sedang gencar-gencarnya kampanye RTH Kota Bandar Lampung dan mengiring kasus sengketa Taman Hutan Kota Way Halim. Waktu itu, luasan RTH di Kota Bandar Lampung tercatat hanya 11%. Tapi hingga saya mencari informasi untuk talkshow di RRI kemarin, luasan itu belum bertambah. Bahkan saya curiga jika luasan RTH di Kota Bandar Lampung justru berkurang.

Belum lagi jika kita menghitung pertumbuhan penduduk yang sinergi dengan pertambahan kendaraan bermotor. Tentu saja, Kota Bandar Lampung saat ini membutuhkan RTH yang lebih banyak daripada empat tahun silam saat suhu kota masih aman ditoleransi tubuh kita. Untuk lebih jelasnya tentang bagaimana seharusnya bentuk RTH di sempadan sungai, rel kereta api, jalur hijau jalan hingga perhitungan kebutuhan pohon dan desain RTH silakan download Permen PU No 5 Tahun 2008 di sini.

Kenapa saya bisa bersikap se-curious itu?

Secara kasat mata, bukit-bukit di Kota Bandar Lampung semakin habis. Yang tersisa hanya batuan-batuan yang sedang terus dieksploitasi, dikelilingi beberapa forklift dan truk-truk pengangkut batu serta pekerja-pekerja kasar berkulit legam terpanggang matahari. Selain itu, proyek-proyek pembangunan perumahan semakin masif dilakukan. Nggak jarang juga pembangunan perumahan dilakukan di lereng bukit. Atau bahkan di atas bukit itu sendiri. Belum lagi bangunan hotel-hotel dan restoran yang semakin megah dipandang dari kejauhan.

Kembali lagi ke acara talkshow di RRI.

Sebenarnya ini bukan kali pertama saya bicara di radio. Dulu, saya pernah bicara di talkshow interaktif di Star FM tentang pengelolaan sampah. Kebetulan waktu itu program kerja anggota WALHI memang sedang fokus pada sampah pesisir kota di Bandar Lampung. Respon yang saya terima saya pikir nggak seantusias talkshow kami di RRI.

Awalnya saya memang agak ragu (baca: minder) karena pendengar RRI menurut saya adalah orang-orang well educated yang mendengarkan radio di mobil atau di rumah sembari ngopi pagi menjelang pergi ke kantor. Tapi saya kemudian merasa sangat yakin bahwa talkshow itu akan sangat berdampak, karena kita menyasar orang-orang well-educated yang lebih bisa menerima ajakan tanpa harus ada iming-iming. *if you know what I mean* Para pendengar cukup berpikir, kemudian jika ada silang pendapat, kita bisa berdiskusi. Mana tau kita justru mendapat masukan yang sangat berarti, kan?

Ternyata keraguan saya justru berbuah optimisme. Saya jadi semakin bersemangat, dan satu jam talkshow saya pikir kurang. Begitu pun menurut Kak Herry, Bang Ferry dan Mbak Niken. Ke depan kami berharap untuk bisa lebih matang lagi dalam meramu konsep dan isi dari talkshow yang digelar. Utamanya adalah kampanye dan ajakan positif untuk senantiasa membiasakan diri, keluarga dan masyarakat sekitar kita untuk aware terhadap permasalahan lingkungan dan ancamannya terhadap masa depan generasi penerus berjenis manusia itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun