Perubahan kepemilikan lahan tersebut memunculkan sebuah perspesi bahwa masyarakat hutan justru kian terpinggirkan. Dorongan naluriah untuk bertahan hidup memaksa mereka merambah hutan yang secara hukum dilindungi. Motifnya sederhana, yaitu untuk memanfaatkan hasil hutan sebagai pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Masalah selanjutnya adalah kecemburuan sosial di mana masyarakat merasakan adanya ‘jarak’ psikologis atas kesenjangan sosial-ekonomi dengan korporasi. Akses sumber ekonomi, pendidikan hingga kesehatan, semuanya kontras secara tajam.
Celakanya lagi, banyak masyarakat hutan yang belum memahami konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan. Tidak hanya implikasi hukum, beberapa praktik yang masih mereka lakukan sebetulnya tidak memenuhi unsur keberlanjutan lingkungan.
Praktik Masyarakat Tradisional dalam Pemenuhan Kebutuhan
Menurut tinjauan secara ilmiah seperti dijelaskan Otto Soemarwoto (2005:51-54) dalam bukunya Menyinergikan Pembangunan dan Lingkungan, salah satu penyebab kebakaran hutan yang berujung pada deforestasi adalah pembukaan lahan (land clearing) untuk transmigrasi, perladangan berpindah, perkebunan, pembalakan liar (illegal logging) dan HTI.
Pada mulanya pembukaan lahan dengan metode tebang dan bakar dilakukan berdasarkan pengetahuan kearifan lokal masyarakat tradisional. Selain praktis, metode ini diyakini menambah kesuburan lahan. Lazimnya, skala luas lahan masih dalam terlihat oleh jangkauan mata, sehingga kemungkinan besar masih terkontrol dan tidak sampai menyebabkan meluasnya kebakaran di luar kendali.
Tradisi turun-temurun serta belum adanya solusi yang tepat bagi masyarakat hutan menjadikan kejadian demi kejadian yang sama selalu terulang kembali. Potensi konflik antara masyarakat dengan perusahaan ibarat api dalam sekam, tinggal menunggu pemantik untuk berkobar tiap saat.
Solusi Jangka Panjang untuk Kebaikan Bersama
Beberapa upaya sebetulnya sudah dilakukan beberapa pihak untuk mengurai dan menyelesaikan persoalan. Namun seringkali, upaya ini tidak dibarengi dengan kajian mendalam, sehingga hasilnya adalah solusi instan yang bersifat temporer saja.
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional, Putera Parthama mengutarakan diperlukan kerja sama yang baik dengan semua pihak sebagai upaya untuk menekan deforestasi, penegakan hukum dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Pada kawasan hutan yang diberikan izin, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong terjalinnya kemitraan antara masyarakat dan pemegang izin. Kemitraan ini bisa dilakukan dengan menanam tanaman kehidupan dan agroforestri, sebagai upaya pemberdayaan masyarakat.
Konflik antara Orang Rimba dan perusahaan karet di atas mestinya dapat dihindari andai kedua belah pihak yang bersengketa ini melakukan dialog dan menyamakan persepsi. Ini tentunya menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Masyarakat yang terdidik, LSM, pemerintah utamanya pemda setempat, dan tentunya pihak swasta seyogyanya harus terlibat dalam memecahkan problem yang menahun ini. Solusi jitu dan berorientasi jangka panjang harus ditemukan.
Orang Rimba dan mungkin puluhan ribu masyarakat hutan lain memiliki harapan sederhana. Mereka hanya ingin bertahan hidup di tanah mereka sendiri, di tengah pesatnya laju zaman ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H