Mohon tunggu...
Rinda Sandini
Rinda Sandini Mohon Tunggu... -

mom of two lovely kids | lifelong learner | good employee

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perjuangan Orang Rimba Jambi untuk Bertahan Hidup di Tengah Laju Zaman

4 November 2016   13:25 Diperbarui: 5 November 2016   11:01 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi land clearing masyarakat tradisonal dengan metode slash and burn (sumber: floridadesototrail.com)

Perubahan kepemilikan lahan tersebut memunculkan sebuah perspesi bahwa masyarakat hutan justru kian terpinggirkan. Dorongan naluriah untuk bertahan hidup memaksa mereka merambah hutan yang secara hukum dilindungi. Motifnya sederhana, yaitu untuk memanfaatkan hasil hutan sebagai pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Masalah selanjutnya adalah kecemburuan sosial di mana masyarakat merasakan adanya ‘jarak’ psikologis atas kesenjangan sosial-ekonomi dengan korporasi. Akses sumber ekonomi, pendidikan hingga kesehatan, semuanya kontras secara tajam.

Pelayanan kesehatan semacam ini merupakan kemewahan bagi masyarakat hutan (sumer: viva.co.id)
Pelayanan kesehatan semacam ini merupakan kemewahan bagi masyarakat hutan (sumer: viva.co.id)
Di saat bersamaan, interaksi masyarakat dengan lahan hutan di dekat mereka yang telah terjadi jauh sebelum korporasi hadir, kini bersinggungan dengan aktivitas perusahaan yang bernaung di bawah payung hukum. Hukum akan siap bertindak jika mereka melanggar wilayah tersebut.

Celakanya lagi, banyak masyarakat hutan yang belum memahami konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan. Tidak hanya implikasi hukum, beberapa praktik yang masih mereka lakukan sebetulnya tidak memenuhi unsur keberlanjutan lingkungan.

Praktik Masyarakat Tradisional dalam Pemenuhan Kebutuhan
Menurut tinjauan secara ilmiah seperti dijelaskan Otto Soemarwoto (2005:51-54) dalam bukunya Menyinergikan Pembangunan dan Lingkungan, salah satu penyebab kebakaran hutan yang berujung pada deforestasi adalah pembukaan lahan (land clearing) untuk transmigrasi, perladangan berpindah, perkebunan, pembalakan liar (illegal logging) dan HTI.

Pada mulanya pembukaan lahan dengan metode tebang dan bakar dilakukan berdasarkan pengetahuan kearifan lokal masyarakat tradisional. Selain praktis, metode ini diyakini menambah kesuburan lahan. Lazimnya, skala luas lahan masih dalam terlihat oleh jangkauan mata, sehingga kemungkinan besar masih terkontrol dan tidak sampai menyebabkan meluasnya kebakaran di luar kendali.

Ilustrasi land clearing masyarakat tradisonal dengan metode slash and burn (sumber: floridadesototrail.com)
Ilustrasi land clearing masyarakat tradisonal dengan metode slash and burn (sumber: floridadesototrail.com)
Tetapi dalam prosesnya, ketika lahan yang dibuka lebih luas lagi misalnya beberapa hektar, banyak faktor yang bisa membahayakan, salah satunya angin yang membawa api ke segala arah, termasuk berpotensi membabat hutan alam. Dengan kejadian tersebut bisa diketahui bahwa yang sebenarnya didambakan masyarakat adalah tersedianya mata pencaharian secara berkelanjutan sehingga mereka berdaya secara ekonomi, bukannya ingin mengeksploitasi hutan secara masif.

Tradisi turun-temurun serta belum adanya solusi yang tepat bagi masyarakat hutan menjadikan kejadian demi kejadian yang sama selalu terulang kembali. Potensi konflik antara masyarakat dengan perusahaan ibarat api dalam sekam, tinggal menunggu pemantik untuk berkobar tiap saat.

Solusi Jangka Panjang untuk Kebaikan Bersama
Beberapa upaya sebetulnya sudah dilakukan beberapa pihak untuk mengurai dan menyelesaikan persoalan. Namun seringkali, upaya ini tidak dibarengi dengan kajian mendalam, sehingga hasilnya adalah solusi instan yang bersifat temporer saja.

Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional, Putera Parthama mengutarakan diperlukan kerja sama yang baik dengan semua pihak sebagai upaya untuk menekan deforestasi, penegakan hukum dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Pada kawasan hutan yang diberikan izin, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong terjalinnya kemitraan antara masyarakat dan pemegang izin. Kemitraan ini bisa dilakukan dengan menanam tanaman kehidupan dan agroforestri, sebagai upaya pemberdayaan masyarakat.

Kegiatan agroforestri (wanatani) diyakini menjadi solusi efektif pemenuhan kebutuhan yang berkelanjutan (sumber: mongabay.co.id)
Kegiatan agroforestri (wanatani) diyakini menjadi solusi efektif pemenuhan kebutuhan yang berkelanjutan (sumber: mongabay.co.id)
Para pihak yang berkepentingan hendaknya duduk bersama, saling mengutarakan apa yang menjadi harapan, kebutuhan serta keinginan masing-masing, lalu mencari jalan tengahnya.

Konflik antara Orang Rimba dan perusahaan karet di atas mestinya dapat dihindari andai kedua belah pihak yang bersengketa ini melakukan dialog dan menyamakan persepsi. Ini tentunya menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Masyarakat yang terdidik, LSM, pemerintah utamanya pemda setempat, dan tentunya pihak swasta seyogyanya harus terlibat dalam memecahkan problem yang menahun ini. Solusi jitu dan berorientasi jangka panjang harus ditemukan.

Orang Rimba dan mungkin puluhan ribu masyarakat hutan lain memiliki harapan sederhana. Mereka hanya ingin bertahan hidup di tanah mereka sendiri, di tengah pesatnya laju zaman ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun