Judul : Perempuan Di Titik Nol
Penulis : Nawal El-Saadawi
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tahun Cetakan : 2006
ISBN : 9794610402
Pertama saya suka buku yang berbau feminisme dan perempuan. Kedua, cover buku ini cukup menyedot perhatian saya. Warna merah yang kental bagai darah dan ilustrasi perempuan yang sedang memeluk lutut. Dan yang ketiga bujuk rayu si penjual buku membuat rasa penasaran saya meningkat. Namun, karena beberapa hal saya tidak sempat membeli buku ini. Sebut saja, kere.Alhasil, saya pulang dengan tangan hampa namun, rasa penasaran ini tetap tak kunjung hilang. Hingga pada suatu hari, di kelas, saya menemukan teman saya membaca buku ini. Betapa senang dan bahagianya karena dia berbaik hati meminjamkan buku ini kepada saya. Yuhuuu. *sedikit cerita*
Novel ini menceritakan seorang perempuan Mesir bernama Firdaus. Firdaus adalah seorang pelacur kelas atas yang divonis hukuman mati akibat membunuh seorang germo atau calo pria. Beberapa orang yang menyadari pembunuhan yang dilakukan Firdaus semata mata untuk melindungi diri, mereka mengusahakan grasi untuknya. Namun, di luar dugaan Firdaus justru menolaknya dan mengatakan bahwa hukuman mati adalah bentuk kebebasan tertinggi. Di antara waktu-waktu hukuman matinya, Firdaus menolak ditemui atau interaksi dari dunia luar.
Novel ini terinspirasi dari riset yang dilakukan oleh Nawal El-Saadawi tentang penyakit saraf di kalangan perempuan Mesir. Lewat novel ini pula Nawal seperti mencoba menggambarkan pelik nya kehidupan perempuan Mesir dari tahun 1970-1980 melalui sosok Firdaus. Kenapa saya sebut pelik? Pada saat itu, perempuan sering kali menjadi objek kekerasan dan pelecehan atas kaum laki-laki seolah menjadi hal yang wajar di kalangan masyarakat Mesir. Sejak kecil Firdaus sering menjadi sasaran pelecehan seksual dari teman-teman dan pamannya --yang seorang Syeikh- bahkan ketika menikah Firdaus acap kali memukulinya tanpa alasan yang jelas.
Dari novel ini, suami selalu memiliki derajat yang lebih tinggi dari istri. Suami boleh melakukan apa saja terhadap istri dan anak-anaknya. Dikisahkan, Ayah Firdaus mampu dengan rakusnya makan sedang istri dan anaknya tidak makan selama beberapa hari. Saat musim dingin tiba, tempat tidur sang Ayah digeser ke dekat perapian sementara anak-anak dan istri justru ke dekat pintu yang dingin.
Pada saat itu, perempuan Mesir hanya boleh mengenyam pendidikan setingkat SMA. Firdaus mengira ia akan diizinkan untuk bekerja dengan ijazah SMA-nya, tapi, ternyata hal itu tidak diizinkan pada akhirnya Firdaus dinikahkan dengan pria berusia lebih dari 60 tahun oleh Paman dan Bibinya. Pria tua itu memang kaya raya, namun pelit dan memiliki penyakit bisul di mukanya. Karena tidak tahan, Firdaus memilih kabur dari rumah. Di perjalanan itu Firdaus bertemu Bayoumi, seorang lelaki yang memperkenalkan Firdaus kepada profesi pelacur. Firdaus merasa dirinya dijajah laki-laki, dia tidak tahan dan memilih kabur. Ia bertemu seorang perempuan yang ternyata seorang germo. Berkat perempuan itu lah Firdaus mengetahui ia memiliki harga tinggi.Â