Mohon tunggu...
Rina Nazrina
Rina Nazrina Mohon Tunggu... lainnya -

good books, good friends, good life :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perang yang Bukan untuk Menang

19 Agustus 2011   13:58 Diperbarui: 3 Mei 2016   16:17 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_130360" align="aligncenter" width="314" caption="felico.info"][/caption]

Ada yang bilang kalau Republik Indonesia sekarang ini masih belum merdeka. Masih dijajah oleh kemiskinan, ketidakadilan hukum dan kesemena-menaan oknum-oknum penguasa yang korup.

Kalau begitu, berarti kita, para pemuda, masih harus perang.

Permasalahannya, apa tujuan perang kita sekarang ini? Apakah benar-benar murni memperjuangkan cita-cita negara yang berdasarkan Pancasila? Memperjuangkan kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial?

Atau hanya ingin memenangkan kepentingan pribadi yang berdasarkan perhitungan untung rugi? Kalau menguntungkan, ikut melawan, tapi kalau malah jadi rugi, mendingan bungkam...?

Berikut ini penggalan percakapan Tuan Telinga dan Jean Marais, dalam roman Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer, ketika mereka membahas tentang perang rakyat Aceh melawan Belanda.

"...Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan-perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini …Ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati, hidup, atau kalah-menang.
"...Akhirnya sama saja, Jean, adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang.”
“Itu hanya akibat, Tuan Telinga. Tapi baiklah kalau memang sudah jadi pandangan Tuan. Sekarang, Tuan, sekiranya bangsa Aceh yang menang, Belanda kalah, adakah Nederland lantas jadi milik Aceh?”
“Aceh takkan mungkin menang.”
"Justru karena itu, Tuan. Aceh sendiri tahu pasti akan kalah. Belanda juga tahu pasti akan menang. Namun, Tuan, Aceh tetap juga turun ke medan-perang. Mereka berperang bukan untuk menang. Berbeda dari Belanda. Sekiranya dia tahu Aceh sama kuat dengan dirinya, dia takkan berani menyerang, apalagi membuka medan-perang. Soalnya tak lain dari pertimbangan untung-rugi modal."

[caption id="attachment_130355" align="aligncenter" width="300" caption="kilasbaliknusantara.blogspot.com"][/caption]

Betapa mulia yang dilakukan oleh pemuda-pemuda pejuang kita di masa lalu. Tak hanya Aceh, tapi seluruh Nusantara.

Ada perumpamaan yang bagus mengenai pemuda Indonesia sekarang ini. Inspirasi dari film Kill Bill, ketika tokoh Bill menjelaskan kepada Beatrix Kiddo tentang Superman.

Apa bedanya Superman dengan superhero-superhero komik lainnya?

Semua superhero punya alter-ego. Batman, aslinya adalah Bruce Wayne, bangsawan muda kaya raya, yang kalau malam menyamar menjadi pahlawan bertopeng pembasmi kejahatan. Dan Spider-Man aslinya adalah Peter Parker, pemuda miskin canggung yang naksir tetangganya, dan menemukan kepercayaan dirinya ketika menyamar sebagai Spider-Man dan difoto-foto wartawan bak selebritis saat memanjat gedung-gedung.

Sedang Superman, aslinya adalah Superman. Ia terlahir sebagai Superman, dengan kekuatan super, dan sejak bayi sudah datang ke bumi dengan jubah merah-biru berlambang huruf S itu. Ia justru 'menyamar' menjadi Clark Kent, wartawan nerd yang lemah, penakut dan bukan siapa-siapa itu.

Sekarang pertanyaannya, yang manakah pemuda Indonesia?

Apakah kita terlahir sebagai orang yang lemah dan penakut lalu setelah dewasa kita berubah jadi pemberani dan superhero?

Ataukah kita sejak lahir sudah berkekuatan super dan punya misi mulia di atas bumi ini, lalu ketika beranjak dewasa, kita malah berubah jadi manusia lemah dan penakut dan hanya memikirkan diri sendiri?

[caption id="attachment_130356" align="aligncenter" width="300" caption="beritabali.com"][/caption]

Pendahulu-pendahulu kita yang jelas telah menorehkan catatan sifat-sifat super dalam sejarah. Dari mulai jaman Gajah Mada, Sultan Malaka, Raden Patah, Sultan Hasanudin, Sultan Ageng, lanjut ke jaman pemberontakan Pattimura terhadap Belanda, Pangeran Diponegoro, Teungku Cik di Tiro, Dewi Sartika, Tjokroaminoto, hingga masuk ke jaman proklamasi kemerdekaan, pemuda-pemuda Sarekat Islam, Boedi Oetomo, dan banyak lagi yang lain-lain yang tak mungkin saya tulis satu per satu, baik yang diabadikan namanya di buku sejarah maupun tidak, yang terus-menerus berjuang (meski tanpa kepastian akan menang, tapi toh tetap keukeuh terus melakukan perlawanan).

[caption id="attachment_130357" align="aligncenter" width="201" caption="gimonca.com/sejarah"][/caption]

Merekalah pemuda-pemuda berkekuatan super dari Indonesia.

Lalu apakah kita akan 'mempergunakan' kekuatan super ini untuk berani melanjutkan perjuangan mereka 'memerdekakan' Indonesia dari segala bentuk penjajahan versi modern? Atau kita memilih seperti Clark Kent saja, yang tidak mau mengaku super dan bersembunyi di balik meja dan koran. Memikirkan untung rugi perusahaan sendiri saja.

[caption id="attachment_130359" align="aligncenter" width="300" caption="menteridesainindonesia.blogspot.com"][/caption]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun