Mohon tunggu...
Rina Nazrina
Rina Nazrina Mohon Tunggu... lainnya -

good books, good friends, good life :)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Metamorfosis Jazz: Sketsa Perjalanan Miles Davis

19 Juli 2011   08:48 Diperbarui: 3 Mei 2016   16:05 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jazz is the big brother of revolution. Revolution follows it around. (Miles Davis)

 

Pelukis Pablo Picasso, yang lukisan aslinya kini bernilai jutaan bahkan milyaran, dulu pada jamannya seringkali menjadi bahan olok-olok orang. Bagaimana tidak, ketika pelukis lainnya berlomba-lomba melukis bagus supaya objeknya terlihat seperti hidup, Picasso malah melukis orang yang hidungnya di dahi, mulutnya di pipi, dan kupingnya di leher. Nyeleneh sekali-lah kalau kata orang sekarang. 

Di dunia musik jazz, adalah Miles Davis, musisi yang dijuluki ‘the Picasso of Invisible Art’ karena telah melakukan hal yang serupa, yaitu memulai sesuatu yang berbeda yang tak terpikir oleh orang lain sebelumnya untuk dilakukan. Ia telah mengubah musik sedikitnya empat kali dalam periodisasi jazz. Jerry Justianto, dalam tulisan-tulisannya tentang jazz seringkali mengatakan bahwa jika ingin tau apa dan bagaimana musik jazz, maka ikutilah perjalanan musik Miles Davis dari awal hingga akhir. Itu semua adalah jazz. 

Miles telah menunjukkan betapa jazz dapat berubah bentuk, namun tetap tak lepas dari esensinya, yaitu improvisasi. Selama 65 tahun hidupnya, ia berjasa menginspirasi banyak musisi lain di dunia dengan ide-ide baru dalam musik, sekalipun diterpa pro dan kontra. Hingga dalam The New Groove Dictionary of Jazz ia ditulis sebagai “the most consistently innovative musician in jazz from the late 1940s through 1960s.” 

~ Kelahiran Giant Jazz ~ 

Miles Dewey Davis III lahir di Alton, Illinois, pada 25 Mei 1926. Pada masa ini diskriminasi kulit hitam masih terus berlangsung di wilayah Amerika. Namun, tidak seperti kondisi umum ras kulit hitam lainnya pada saat itu, Miles Davis hidup dalam keluarga yang cukup berada dan terpelajar. Ibunya, seorang pianis, ingin agar Miles belajar biola, namun di usia 13 tahun ia dihadiahi terompet oleh sang ayah, seorang dokter gigi. Dan dua tahun kemudian ia sudah bermain terompet di depan publik bersama band lokal yang dipimpin Eddie Randall. 

[caption id="attachment_123727" align="alignleft" width="200" caption="Miles Davis di kiri belakang Charlie Parker"]

[/caption] 

Di umur 18, ia mendaftar di sebuah sekolah seni musik di New York. Namun tak sampai berapa lama belajar formal, nasib kemudian membawanya berguru kepada Charlie ‘Bird’ Parker, saxophonis idolanya kala itu. Maka jadilah pada 1940-an awal Miles bermain terompet di belakang Charlie Parker dan Dizzy Gillespie, dua arsitek bebop yang bermain dengan kompleksitas dan kecepatan tak tertandingi. Kalaulah Miles bukan anak yang sangat berbakat dalam musik, maka pastilah ia sangat bekerja keras untuk mengikuti permainan kedua ‘guru’nya tersebut. 

Ketika dunia masih menahan nafas dengan intensitas permainan bebop ini, Miles perlahan maju dan memunculkan ekspresi musiknya sendiri. Ia, bersama para musisi kulit putih, di antaranya Gil Evans dan Gerry Mulligan, pada 1949 membuat sesuatu yang lebih relax, yang berlawanan mood dengan bebop. Seolah ingin mengajak masyarakat untuk melenyapkan ketegangan usai perang dunia II, Miles berkreasi dan musik hasil karyanya itu mengawali era cool jazz. Boplicity adalah salah satu dari karya cool-nya, terekam dalam album The Birth of the Cool. Beberapa musisi lain mengecam ide anyar Miles tersebut, terlebih karena yang diajaknya bekerja sama adalah orang-orang kulit putih. Tetapi seperti salah satu judul lagunya, So What adalah kata-kata efektif andalan Miles untuk membuatnya tetap maju. 

Dekade 1950-an adalah tahun-tahun Miles berkolaborasi dengan kelompok kuintetnya. Miles menyertakan ‘anak-anak bawang’ dalam kelompoknya itu, anak-anak bawang yang kini disebut orang Modern Jazz Giants. Mereka di antaranya adalah John Coltrane (tenor sax) yang masih amatir dan Paul Chambers (bass) yang terhitung masih ABG kala itu. Miles rupanya merupakan satu di antara sedikit musisi jazz yang melakukan sesuatu untuk regenerasi. Ia membimbing anak-anak muda berbakat tersebut untuk menciptakan sesuatu yang baru dan tidak hanya sekadar mengulang apa-apa yang pernah dimainkan musisi sebelumnya. Mengenai hal ini Miles menyatakan bahwa setiap musisi mempunyai ide dan gaya masing-masing, sehingga menurutnya orang tidak dapat membanding-bandingkan apalagi membuat peringkat-peringkat antar musisi. 

Namun tetap saja kuintet Miles ini membuat masyarakat musik ragu, hingga Relaxin’, Cookin, Steamin’ dan Workin’ kemudian dimainkan sebagai jawaban untuk keskeptisan orang-orang. Tak terasa kemudian di dekade berikutnya perhatian dunia teralihkan oleh gebrakan rock ‘n roll. Lagu-lagu The Beatles terdengar siang malam di setiap jendela rumah, dan orang-orang berjingkrak-jingkrak menikmati rock ‘n roll di berbagai klub dan kafe. 

Maka bagaimanakah membuat dunia pada saat itu tidak kehilangan jazz? 

Miles pun kemudian menggagas penggabungan unsur-unsur rock ke dalam jazz hingga menjadi jenis musik baru, yaitu jazz-rock atau sering disebut fusion. Nada dan intensitas yang diperdengarkan seperti rock, namun esensi keseluruhannya adalah jazz yang ramah. Pembaruan ini kontan membuat gerah para musisi penggusung jazz mainstream lainnya. Mengenainya, Miles mengatakan bahwa orang yang terpaku dengan tradisi lama hanyalah orang yang malas yang buntu kreativitas. Bebop sendiri toh pada masanya berbicara tentang perubahan dan menjadi sebuah evolusi. 

Miles lalu jalan terus dengan merekam In a Silent Way, dan juga Bitches Brew, keduanya di tahun 1969. Chick Corea, Tony Williams, John McLaughlin, Keith Jarret dan Herbie Hancock adalah antara lain nama-nama segar pada 30 tahun lalu yang turut bersama Miles Davis mengembangkan fusion ini. Mereka menggunakan unsur-unsur elektrik dalam gubahan mereka, dan bahkan terompet Miles pun dilengkapi dengan aksesori elektronik. Memancing kritik? Sudah pasti. Wayne Shorter di sebuah biografi tentang Miles pernah berujar,

There’s nothing magical ‘bout the electric period. There’s nothing mysterious ‘bout how we put things together. There was just more courage involved...the courage to say: ‘To hell with critics’.

 

Bulan Juni tahun 1972 keluarlah album On the Corner yang bernuansa funk. Para kritikus menyebut musik Miles kali ini ‘anti-musik.’ Tapi apapun sebutannya, kini funk-jazz toh makin berkembang dan banyak digemari orang, seperti halnya penggabungan berbagai jenis musik lainnya, antara lain jazz dengan hip hop atau rap, jazz dengan musik etnik atau world music dan sebagainya. 

Berikutnya dalam You’re Under Arrest (1985) Miles menginterpretasikan lagu Time After Time (Cindy Lauper), dan Human Nature (Michael Jackson). Kini musik pop yang jadi sasaran. Untuk menanggapi komentar, Miles mengatakan bahwa banyak dari lagu jazz standard sebenarnya adalah lagu pop pada masanya, dari teater Broadway. Jadi tak bijaklah membeda-bedakan musik pop dulu dan sekarang. Demikianlah dan alur kehidupan jazz pun dapat dikatakan sejalan dengan kehidupan Miles. “I have to change, it’s like a curse,” katanya, hingga adalah absurd kalau Miles dituduh sebagai penentang tradisi musik jazz. Karena perubahan dan improvisasi adalah tradisi itu sendiri. Miles telah berbuat banyak untuk itu. 

~ Miles Smiles ~ 

Pasca-kelahiran fusion, ada lima tahun (1975-1980) yang hilang dari kehidupan musik Miles, akibat kecelakaan mobil serta penyakit diabetes dan pneumonia yang dideritanya. Lima tahun itu ia beristirahat di rumah tanpa sekali pun menyentuh terompetnya. “I just can’t hear the music anymore,” katanya waktu itu dan membuat orang mengira setelah itu tak akan lagi Miles terdengar di dunia pentas dan rekaman. 

Tetapi nyatanya pada 1980-an awal, muncullah The Man With the Horn, serta beberapa album lainnya. Miles belum berhenti. Gelar kehormatan berupa Doctorate of Music diperolehnya dari New England Conservatory pada 1986. Dan di penghujung usianya Miles membuat kejutan dengan tampil di Montreux Jazz Festival (Juli, 1991) bersama Quincy Jones. Rekaman ini kemudian mendapatkan penghargaan Grammy untuk Best Large Jazz Ensemble Performance, Grammy kesekian yang diperolehnya. Dan dua bulan setelah festival tersebut, musisi yang juga sempat muncul di beberapa film televisi ini akhirnya wafat, meninggalkan warisan pelajaran improvisasi di setiap rekamannya. 

* * * 

Tidak diketahui apakah Pablo Picasso juga mahir bermain musik, yang jelas ternyata Miles Davis punya bakat melukis. Dia akhir-akhir masa hayatnya, Miles sempat menghasilkan banyak karya lukisan. Walaupun mungkin lukisan-lukisannya tidak menjadi revolusioner seperti karya seninya di bidang lain, yang pasti kata-kata dari the Father of Cubism, Picasso, “In art, one must kill one’s father,” ada benarnya juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun