Mohon tunggu...
Rinawati Acan Nurali
Rinawati Acan Nurali Mohon Tunggu... Editor - Suka jalan, siap mendengarkan, suka. Suka-suka.

Sebagai warga yang baik, selalu ingin berbagi setidaknya lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Taliabu, Misionaris dan Sosial Budayanya (Catatan Belanda tentang Taliabu)

10 September 2022   22:38 Diperbarui: 21 September 2022   17:05 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Pernikahan Perempuan Taliabu di Atas Kapal, diambil dari Majalah HET PENNINGSKE Belanda.

Diterjemahkan oleh: Rinawati Acan Nur Ali 

Sumber Het Penningske No. 10.

Oktober 1916. Perjalanan seorang penulis yang tidak disebutkan namanya, melakukan misi untuk mencatat kondisi sosial masyarakat yang ada di setiap kepulauan Maluku

Ia melakukan ekspedisi bersama misionaris/𝘡𝘦𝘯𝘥𝘪𝘯𝘨 yang bertugas di kepulauan Maluku. Salah satunya adalah kepulauan Sula. Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa masyarakat kepulauan Sula menganut keyakinan lokal atau disebutnya dengan kepercayaan paganisme. Sehingga mereka di utus oleh jenderal angkatan laut, untuk memperkenalkan ajaran agama Kristen dengan cara yang damai.

Setelah melakukan perjalanan di Sanana. Mereka memutuskan untuk meninggalkan Van Linschoten seorang pedagang dan Missionaris Belanda dan berencana melanjutkan perjalanan menuju Taliabu. 

Mereka melabuhkan jangkar di teluk Sanana (salah satu pulau Sulu yang lebih kecil). Pada 29 Februari sehari setelah kedatangannya di teluk Sanana, mereka menemukan sampan bersayap kokoh yang besar. Dengan lima orang masyarakat Alfuren/alfuru sebagai pendayung dan penunjuk jalan menuju pulau Taliabu. 

Namun dalam perjalanan, mereka mendapatkan angin Sakal yang mana angin yang bertiup dari arah haluan kapal (berlawanan dengan arah kapal) sehingga mengakibatkan kapal tidak bisa maju, dan terombang-ambing di tengah laut. Tanggal 6 maret, mereka tiba di Sofang, kotamadya utama Taliabu di kediaman guru Meijer. Pemimpin dari pekerjaan misionaris yang ada di Taliabu.

Desa Sofang memiliki lingkungan dengan kondisi sosial masyarakat yang lebih baik dari tahun sebelum kedatangan Guru Meijer. Sekolah dan kotamadya, yang lebih unggul dari desa lainnya. Karena pengaruh dan kepemimpinan guru Meijer, sehingga masyarakat desa Sofang bisa maju dari sebelumnya. Kebaikan, dan pengabdiannya untuk mengubah tatanan masyarakat Taliabu desa Sofang. 

Walaupun hanya sebagai seorang misionaris Taliabu. Semua masyarakat memanggil dengan sebutan 'guru haja' yang agun dan guru utama. Keyakinan masyarakat bertambah pada kepercayaan mereka terhadap guru Meijer, karena guru Meijer juga melakukan pernikahan dan pentahbisan. 

Pentahbisan adalah rangkaian upacara dalam suatu masyarakat atau komunitas untuk meresmikan pengutusan bagi seseorang atau beberapa orang untuk menjalankan suatu tugas. Pentahbisan juga bisa berarti sebuah cara penerimaan seorang ke dalam suatu struktur masyarakat.

Setelah beberapa hari di desa Sofang, penulis majalah Penningske ditemani guru Meijer dan beberapa misionaris lainnya untuk melakukan perjanalan menuju desa Pehengchado/Phangchado. 

Setibanya disana, kesan pertama yang didapat penulis terhadap desa Phangchado yaitu, kondisi tempat kediaman masyarakat; gubuk yang bobrok, masyarakat yang tidak peduli terhadap misionaris dan peneliti utusan Belanda. Masyarakat mengurus diri mereka sendiri dengan sibuk menggemukkan babi hutan untuk dijual.

Mereka kembali memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju desa Wendi, dan menempatkan Misionaris guru Arie Noha di desa itu. Ada sedikit kemajuan di desa Wendi, namun sayangnya pendidikan disekolah agak menyedihkan. Namun kemajuan partisipasi dalam pengajaran pembaptisan dapat disebut memuaskan. 

Setelah melakukan perjalanan di desa Wendi. Guru Meijer, penulis dan guru Tijs Selong berencana meneruskan perjalanan ke Galela. Dengan niat hati mencarikan istri untuk guru Tijs Selong. Namun rupanya guru Tijs Selong sudah mendapatkan sendiri calon istrinya dari Taliabu desa Talo. Seorang gadis lokal mantan murid Tijs Selong. 

Pada malam yang sama pertemuan diatur dengan orang tua gadis dan pejabat desa. Setelah  diskusi panjang kemenangan tercapai. dengan syarat Tijs akan tinggal di Taliabu. Untuk nilai-nilai yang bisa dipenuhi, dengan janji, membuatnya bekerja di Taliabu selama perilakunya memberikan kepuasan pada masyarakat. 

Sekarang mahar ditentukan: yang umumnya  mahar dibayar dengan barang. Ini termasuk eksklusif, mahar yang dibayar dari sarung dengan jumlah 30 hingga 40 buah ditentukan. Mas kawin akan dibayar 20 sarung dan 15 gulden tunai, setelah itu pernikahan Tijs Selong dan Goho Roentsja pada malam yang sama di buku nikah didaftarkan dan ditahbiskan secara gerejawi.

Malam itu mereka habiskan waktu istirahat di desa Talo. Dikediaman Pasangan guru, yang telah tinggal di desa Talo selama dua tahun. Yakni Sembilang dan Dagali, orang Kristen sederhana dari Tobelo. Dedikasi dari pasangan guru Sembilang dan Dagali, mengajarkan masyarakat dengan adab bukan hanya kata namun mereka juga mempraktekan ajaran-ajaran dasar kekristenan. Sehingga Talo menjadi kota madya yang maju. 

Dengan mendirikan sekolah untuk masyarakat dan menjadikan Talo sebagai kota yang layak dihuni oleh masyarakatnya. Meskipun bukan asli Taliabu, namun Sembilang yang asal tanah kelahirannya Ambon bisa membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi pemimpin yang baik dengan perubahan yang dilakukan. Membangun sekolah, mendirikan gereja dan membantu memberikan pendidikan pembaptisan kepada para wanita dan anak perempuan.

Istri Sembilang juga menjadi  peran penting dalam mendampingi suaminya. Sehingga dia mendapatkan julukan dari penulis sebagai Xanthippe. Dagali adalah perempuan yang tidak hanya bisa mengambil contoh dari kebersihan dan kerapian yang berlaku di rumahnya. 

Namun ia juga perempuan yang aktivitasnya berada di luar rumah, salah satu sebagai tempat bertanya atau guru dari perempuan dewasa dan anak perempuan baik pendidikan pembaptisan maupun secara sosial. Yang sebelumnya mereka masih berpegang teguh pada kepercayaan paganisme, namun kini beralih masuk agama Kristen.

Sabtu 11 Maret diadakan penelitian tentang pengetahuan orang dewasa yang telah mempersiapkan diri selama dua tahun untuk mengikuti pembaptisan. Lebih dari 10 orang membuktikan bahwa mereka tidak serius namun mereka meminta diberikan kelonggaran satu tahun lagi, di mana mereka bisa menunjukkan bahwa transisi ke agama Kristen adalah keseriusan mereka Ini rupanya membuat kesan besar. Upacara berlangsung pada Minggu pagi dan bernyanyi Nyanyian Hari Minggu di Soboyo dengan nada Nyanyian Rohani 209, dan mereka mendengarkan kisah Zakheus.

Setelah beberapa lama berada di Talo. Mereka melanjutkan perjalanan menuju Langkuba. Kondisi sosial budaya masyarakat Langkuba terlihat sedikit ada kemajuan. Masyarakat dan guru yang memiliki keterikatan emosional. 

Sangat bersemangat dalam melakukan praktik keagamaan. Sekolah dengan 25 murid. Menjadi murid persiapan untuk pembaptisan. Maka akan ditunda selama setahun, selama penundaan akan dilakukan masa percobaan, yang akan mengikuti pembaptisan, untuk menghadiri instruksi pembaptisan dengan setia. 

Pernyataan ini diberikan oleh kepala suku dengan caranya yang khas, dan diakhiri dengan riang: "Saya katakan, jangan terburu-buru, tetapi santai saja!" Dan kalimat penutup ini diucapkan dengan anggukan dan tawa para masyarakat, yang menjawab undangan ini dengan ihi! (ya!).

Setelah dari Langkuba, penulis majalah Penningske dan beberapa misionaris berencana melanjutkan perjalanan menuju desa Pomaoe. Namun dibatalkan, melihat kondisi sosial masyarakat yang belum mumpuni. Dan kembali melanjutkan perjalanan kembali kedesa Sofang. 

Sekolah di sofang memiliki siswa terbanyak dari semua desa. Dan jiwa terbanyak dari semua desa. Namun ada yang meresahkan dalam pikiran penulis majalah Penningske. 

Pada saat pertemuan malam, penyelidikan pun dilakukan berdasarkan pada pengetahuan ajaran keagamaan. Baik yang belum dibaptis ataupun yang telah dibaptis. Namun yang mereka temukan adalah, sikap keagamaan masyarakat sofang yang telah dibaptis namun berperilaku layaknya belum dibaptis. 

Masyarakat yang belum dibaptis kemudian dibaptis dan diberikan pertanyaan apakah mereka siap meninggalkan paganisme mereka dan melayani Tuhan. Yang sudah dibaptis kemudian berlutut, sedangkan yang sebelumnya baru dibaptis dikukuhkan dengan penumpangan tangan.

Setelah upacara, Pastor Kawadang, salah satu yang belum dibaptis, datang untuk menanyakan apakah dia mungkin menerima baptisan pada kunjungan berikutnya. Ya katanya. "Saya sampai sekarang pergi dengan cara saya sendiri, tetapi apakah Anda melihat bahwa saya telah memotong rambut saya?" Dulu. 

Sampai sekarang, Pastor Kawadang memiliki rambut panjang, jadi saya pernah memberitahunya sebelumnya; "Bapa Kawadang, rambut panjang, hati panjang!" Sebuah pepatah yang telah menjadi pepatah di antara para pastor Sofang, karena menurut mereka para penentang memiliki "hati yang panjang." 

Setelahnya, mereka mendengarkan kisah Nikodemus dan ketika di pertemuan malam. Guru Meijer mengajukan pertanyaan tentang kisah ini, Pastor Kawadang lah yang memberikan jawaban terbaik. Penulis majalah berharap bahwa mereka yang diberikan masa percobaan akan membawa perubahan besar terutama Pastor Kawadang dan para pengikutnya akan menjalani sejarah Nikodemus.

Kunjungan terakhirnya adalah Mantarara. Dengan desa terbaik yang dimiliki, gubuk-gubuk yang dulunya telah terlihat dari pantai kini tak ada lagi. Pemukiman masyarakat yang menjadi lebih kaya, dengan gedung gereja sekolah yang bagus. 

Saat istirahat, penulis majalah mengajak guru Djoemoko yang juga asistennya bahwa dia bisa mengambil perjalanan pulang ke Tobelo untuk mencari istri. Namun ternyata Djoemoko telah meminta tangan putri kepala suku, yang telah bersekolah selama dua tahun untuk menjadi istrinya. Namun tidak muda untuk melamar putri kepala suku. Meski diminta oleh guru Meijer dan penulis majalah tetap ditolaknya.

Dengan guru Meijer saya memanjat rumah kepala suku untuk mulai menempa besi, yang, bagaimanapun, masih harus dibuat panas. Kotak pinang berputar-putar dan setelah kami mengagumi babi-babinya, Saya bertanya apakah orang-orangnya senang dengan gurunya.

"Oh ya, dalam hal ini, kami akan memberikannya kepada Anda.

"tidak ingin tersesat lagi."

"Sayang sekali dia (guru Djoemoko) sendirian dan harus memasak pancinya sendiri;

"Ya itu sangat disayangkan.

"Saya berencana untuk membawanya ke Tobelo, tapi kemudian dia bisa mengambil 6 bulan pertama! tidak kembali selama berbulan-bulan.

" ENAM BULAN ?

"Ya, enam bulan penuh, sampai angin selatan kembali,

"Itu sangat panjang.

"Ya, tapi dia bisa tinggal di sini. Jika dia bisa memiliki seorang gadis dari Mantarara

"Nikah.

"Oh, dalam hal ini, ada gadis di sini

"cukup.

"Kudengar dia bertanya pada putrimu! memiliki?

"Iya dia punya.

"Dan, apakah kamu menolak lamaran itu? .

"Ya, saya punya, putri saya tidak bisa menjadi istri guru.

Tetapi sekarang putranya datang membantu dan berkata: "Saya tidak menentang adik perempuan saya menikah dengan guru!" Pria tua itu akhirnya memberikan persetujuannya, dan keesokan harinya pernikahan antara Dodono dilangsungkan secara khidmat. Djoemoko dan Banda Laba, setelah harta mempelai perempuan dibayarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun