Setelah beberapa hari di desa Sofang, penulis majalah Penningske ditemani guru Meijer dan beberapa misionaris lainnya untuk melakukan perjanalan menuju desa Pehengchado/Phangchado.Â
Setibanya disana, kesan pertama yang didapat penulis terhadap desa Phangchado yaitu, kondisi tempat kediaman masyarakat; gubuk yang bobrok, masyarakat yang tidak peduli terhadap misionaris dan peneliti utusan Belanda. Masyarakat mengurus diri mereka sendiri dengan sibuk menggemukkan babi hutan untuk dijual.
Mereka kembali memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju desa Wendi, dan menempatkan Misionaris guru Arie Noha di desa itu. Ada sedikit kemajuan di desa Wendi, namun sayangnya pendidikan disekolah agak menyedihkan. Namun kemajuan partisipasi dalam pengajaran pembaptisan dapat disebut memuaskan.Â
Setelah melakukan perjalanan di desa Wendi. Guru Meijer, penulis dan guru Tijs Selong berencana meneruskan perjalanan ke Galela. Dengan niat hati mencarikan istri untuk guru Tijs Selong. Namun rupanya guru Tijs Selong sudah mendapatkan sendiri calon istrinya dari Taliabu desa Talo. Seorang gadis lokal mantan murid Tijs Selong.Â
Pada malam yang sama pertemuan diatur dengan orang tua gadis dan pejabat desa. Setelah  diskusi panjang kemenangan tercapai. dengan syarat Tijs akan tinggal di Taliabu. Untuk nilai-nilai yang bisa dipenuhi, dengan janji, membuatnya bekerja di Taliabu selama perilakunya memberikan kepuasan pada masyarakat.Â
Sekarang mahar ditentukan: yang umumnya  mahar dibayar dengan barang. Ini termasuk eksklusif, mahar yang dibayar dari sarung dengan jumlah 30 hingga 40 buah ditentukan. Mas kawin akan dibayar 20 sarung dan 15 gulden tunai, setelah itu pernikahan Tijs Selong dan Goho Roentsja pada malam yang sama di buku nikah didaftarkan dan ditahbiskan secara gerejawi.
Malam itu mereka habiskan waktu istirahat di desa Talo. Dikediaman Pasangan guru, yang telah tinggal di desa Talo selama dua tahun. Yakni Sembilang dan Dagali, orang Kristen sederhana dari Tobelo. Dedikasi dari pasangan guru Sembilang dan Dagali, mengajarkan masyarakat dengan adab bukan hanya kata namun mereka juga mempraktekan ajaran-ajaran dasar kekristenan. Sehingga Talo menjadi kota madya yang maju.Â
Dengan mendirikan sekolah untuk masyarakat dan menjadikan Talo sebagai kota yang layak dihuni oleh masyarakatnya. Meskipun bukan asli Taliabu, namun Sembilang yang asal tanah kelahirannya Ambon bisa membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi pemimpin yang baik dengan perubahan yang dilakukan. Membangun sekolah, mendirikan gereja dan membantu memberikan pendidikan pembaptisan kepada para wanita dan anak perempuan.
Istri Sembilang juga menjadi  peran penting dalam mendampingi suaminya. Sehingga dia mendapatkan julukan dari penulis sebagai Xanthippe. Dagali adalah perempuan yang tidak hanya bisa mengambil contoh dari kebersihan dan kerapian yang berlaku di rumahnya.Â
Namun ia juga perempuan yang aktivitasnya berada di luar rumah, salah satu sebagai tempat bertanya atau guru dari perempuan dewasa dan anak perempuan baik pendidikan pembaptisan maupun secara sosial. Yang sebelumnya mereka masih berpegang teguh pada kepercayaan paganisme, namun kini beralih masuk agama Kristen.
Sabtu 11 Maret diadakan penelitian tentang pengetahuan orang dewasa yang telah mempersiapkan diri selama dua tahun untuk mengikuti pembaptisan. Lebih dari 10 orang membuktikan bahwa mereka tidak serius namun mereka meminta diberikan kelonggaran satu tahun lagi, di mana mereka bisa menunjukkan bahwa transisi ke agama Kristen adalah keseriusan mereka Ini rupanya membuat kesan besar. Upacara berlangsung pada Minggu pagi dan bernyanyi Nyanyian Hari Minggu di Soboyo dengan nada Nyanyian Rohani 209, dan mereka mendengarkan kisah Zakheus.