"Halah, sampeyan ki yo podho wae, tunggale."
Lagi-lagi Parno terkekeh. Dicubit pipi Parti. Gemas. Meski sudah tidak muda tapi sisa kecantikan Parti masih terlihat jelas. Tidak ada yang tahu dari mana sebenarnya Parti berasal. Lima belas tahun yang lalu dia datang ke dusun ini. Waktu itu dia datang bersama laki-laki tua yang disebutnya paman. Bersama laki-laki yang meninggal lima tahun lalu itu Parti mendirikan sebuah warung di pinggiran dusun.
"Pijet," kata Parno manja.
Parti mencubit pinggang Parno, membuat laki-laki itu terkekeh menahan geli. Dibiarkan tangan Parno yang mulai melingkar di pinggangnya, membimbingnya masuk ke kamar.
Di lain tempat, Ratih duduk di teras sambil sesekali mengelus-elus perutnya yang besar dengan tangan kirinya. Tangan kanannya tampak memegang selembar kain.
"Nak ayu, ayo masuk. Makan dulu."
"Sebentar," jawab Ratih.
"Masih pagi, ndak baik melamun. Ayo makan dulu, kasihan bayimu."
Dengan enggan Ratih berdiri. Kalau sudah bawa-bawa bayi mau tidak mau dia harus menurut. Dia tidak ingin terjadi apa-apa dengan bayinya.
bersambung
***