"Biarkan lonte itu pergi! Jangan ikut-ikutan dia, bisa-bisa kamu jadi lonte juga nanti!"
Lagi-lagi Retno menghisap rokoknya dalam-dalam. Kali ini dipermainkannya asap yang dihembuskan dari bibirnya itu. Ditiupnya asap itu menjauh seolah ingin mengusir kenangan buruk. Angin berhembus, membuat bulu-bulu halus di pahanya berdiri. Akhir-akhir ini malam terasa dingin, bertambah dingin pada kulit yang hanya dibalut rok mini setengah paha dan kaos ketat berwarna merah tanpa lengan. Secangkir kopi di atas meja yang saat ini tinggal ampasnya saja tak mampu membuat tubuh Retno merasa lebih hangat. Pun juga berbatang-batang rokok putih yang telah habis dihisapnya.
Emak, perempuan yang melahirkannya dua puluh satu tahun yang lalu itu sampai saat ini tak ada kabarnya. Pernah sekali tetangganya bercerita melihat emaknya di sebuah warung kecil di dekat dermaga di ujung selatan Pulau Sumatera. Kabar yang membuat bapaknya marah besar ketika Retno kecil menanyakan kebenarannya. Kabar terakhir juga satu-satunya yang pernah dia tahu tentang emaknya.
Bapaknya mati lima tahun lalu. Ginjalnya rusak berat karena alkohol. Laki-laki yang sehari-harinya jadi sopir truk pengangkut pasir itu semakin menjadi-jadi kecanduannya pada minuman keras setelah emaknya pergi. Dia tidak bisa menerima kenyataan perempuan yang dikenalnya di salah satu panggung tayub itu minggat bersama laki-laki lain.
"Sudah lama nunggu? Maaf aku tadi harus nunggu istriku tidur dulu."
Retno meletakkan rokoknya ke atas asbak. Bibir berbalut lipstik merah menyalanya tersenyum lebar. Disambutnya laki-laki empat puluh tahunan yang baru datang itu.
"Nggak kok, Mas, nggak papa. Mau langsung masuk?"
Laki-laki itu tersenyum sambil mengangguk. Retno meraih lengan kirinya lalu membimbingnya masuk ke bagian dalam warung.
"Mau minum apa?" tanya sambil terus mengumbar senyum.
"Seperti biasanya saja."
Seolah sudah paham, Retno membalik tubuhnya sedikit.