Mohon tunggu...
Roro Asyu
Roro Asyu Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaLebihLemu

suka makan, suka nulis, suka baca, tidak suka sandal basah www.rinatrilestari.wordpress.com www.wongedansby.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lonte

12 September 2012   22:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:33 2244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13474880691993670419

[caption id="attachment_198698" align="aligncenter" width="350" caption="ilustrasi diambil dari fineartamerica.com"][/caption]

"Ngapain kowe nangisi lonte itu? Biar...biar saja dia minggat!"

Retno menghisap rokok putihnya dalam-dalam sebelum kemudian menghembuskan asapnya perlahan. Tangan kirinya mempermainkan bungkus rokok yang tinggal separuh saja isinya. Dihentak-hentakkan pelan bungkus itu ke atas bangku kayu panjang yang didudukinya.

"Sekali lonte tetap lonte! Nggak pernah bener!"

Retno menarik tangan emaknya yang memegang sebuah tas besar. Tangisnya dikuat-kuatkan, berharap perempuan itu akan iba dan mengurungkan niatnya. Dewi, adiknya yang masih berumur satu setengah tahun, merengek dalam pelukan simbahnya. Tangan kecilnya mengapai-gapai ingin meraih emaknya. Bapaknya masih berkacak pinggang. Lelaki bertubuh tambun itu terus saja memaki. Tak peduli tangisan Retno, tak peduli rengekan bayinya.

"Jangan pergi mak, jangan tinggalkan Retno dan adek..." dalam sedunya Retno memohon.

"Maafkan emak Ret, emak harus pergi."

Perempuan yang dipanggil emak itu melepaskan genggaman Retno dari tangannya, membuat gadis kecil itu sedikit terjungkal. Menyadari apa yang dilakukannya hampir membuat anak perempuannya jatuh dia berhenti dan menatap buah hati yang dilahirkannya tujuh tahun silam itu. Kedua bola matanya berkaca-kaca. Dengan suara yang nyaris tak terdengar dia berucap pelan.

"Maafkan emak..." ucapnya sambil setengah berlari, pergi.

"Mak! Jangan tinggalkan Retno mak...Retno ikut emak!"

Retno meraung sejadi-jadinya. Dia bahkan bermaksud lari mengejar emaknya tapi tangan bapaknya keburu mencengkeram kedua lengannya.

"Biarkan lonte itu pergi! Jangan ikut-ikutan dia, bisa-bisa kamu jadi lonte juga nanti!"

Lagi-lagi Retno menghisap rokoknya dalam-dalam. Kali ini dipermainkannya asap yang dihembuskan dari bibirnya itu. Ditiupnya asap itu menjauh seolah ingin mengusir kenangan buruk. Angin berhembus, membuat bulu-bulu halus di pahanya berdiri. Akhir-akhir ini malam terasa dingin, bertambah dingin pada kulit yang hanya dibalut rok mini setengah paha dan kaos ketat berwarna merah tanpa lengan. Secangkir kopi di atas meja yang saat ini tinggal ampasnya saja tak mampu membuat tubuh Retno merasa lebih hangat. Pun juga berbatang-batang rokok putih yang telah habis dihisapnya.

Emak, perempuan yang melahirkannya dua puluh satu tahun yang lalu itu sampai saat ini tak ada kabarnya. Pernah sekali tetangganya bercerita melihat emaknya di sebuah warung kecil di dekat dermaga di ujung selatan Pulau Sumatera. Kabar yang membuat bapaknya marah besar ketika Retno kecil menanyakan kebenarannya. Kabar terakhir juga satu-satunya yang pernah dia tahu tentang emaknya.

Bapaknya mati lima tahun lalu. Ginjalnya rusak berat karena alkohol. Laki-laki yang sehari-harinya jadi sopir truk pengangkut pasir itu semakin menjadi-jadi kecanduannya pada minuman keras setelah emaknya pergi. Dia tidak bisa menerima kenyataan perempuan yang dikenalnya di salah satu panggung tayub itu minggat bersama laki-laki lain.

"Sudah lama nunggu? Maaf aku tadi harus nunggu istriku tidur dulu."

Retno meletakkan rokoknya ke atas asbak. Bibir berbalut lipstik merah menyalanya tersenyum lebar. Disambutnya laki-laki empat puluh tahunan yang baru datang itu.

"Nggak kok, Mas, nggak papa. Mau langsung masuk?"

Laki-laki itu tersenyum sambil mengangguk. Retno meraih lengan kirinya lalu membimbingnya masuk ke bagian dalam warung.

"Mau minum apa?" tanya sambil terus mengumbar senyum.

"Seperti biasanya saja."

Seolah sudah paham, Retno membalik tubuhnya sedikit.

"Kopi pahit satu, Yu," katanya pada seorang perempuan di belakang meja warung.

Yang diajak bicara langsung mengangguk tanda mengerti.

"Aku Retno, aku anak seorang lonte yang kini jadi lonte."

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun