“Ti…”
“Apa Bang?”
Wanita itu menghentikan jahitannya sejenak. Ia memandangi wajahku dengan rasa cemas. Tak ada yang dicemaskannya kecuali jika aku meminta untuk kawin lagi. Aku pun bersumpah tidak akan melakukan itu. Rekening bank-ku hanya cukup untuk hidup berdua dengan Betti, sementara janin di perutnya juga butuh dana tambahan nantinya.
“Aku ingin ikut jihad membela NKRI, Ti!”
“Kamu mau turun ke jalan Bang? Demo dengan mereka?”
Matanya terbelalak dengan jari telunjuk mengarah ke TV di hadapan kami. Saat itu TV sedang menayangkan kepala-kepala dengan sorban putih yang sangat aku sukai.
“Aku ingin memakai sorban Ti!”
Wanita itu tidak menjawab dan melanjutkan kembali menjahit dasternya yang juga sobek kemarin malam. Ia menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah masam. Aku tahu betul ia sedang tak suka dengan pembicaraan seperti ini.
“Dia yang di musuhi oleh kaum kita itu orang kafir. Kafir itu sebaiknya dimusnahkan saja!”
Aku terbawa emosi, terlebih lagi istriku tak mau menjawabnya. Aku bicara lebih keras lagi agar wanita itu mau mendengar bahwa aku ini suaminya, suami yang baik dan mencintai agama.
“Ti! Pokoknya aku ikut! Meruntuhkan orang kafir demi agama kita!”
Wanita itu berdiri seketika. Dasternya yang belum selesai dijahit ia lemparkan padaku berikut jarum dan benangnya. Aku menangkapnya dengan terkejut.
“Astaghfirullah Bang! Kamu teriak itu kafir, dia kafir, anu kafir! Apa kamu tadi pagi juga sholat subuh Bang? Apa tahun kemarin kamu juga berpuasa Bang?”