Mohon tunggu...
Rina Sutomo
Rina Sutomo Mohon Tunggu... Berfantasi ^^ -

Hening dan Bahagia menyatu dalam buncahan abjad untuk ditorehkan sebagai "MAKNA"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Musim Gugur Ketiga, Lai Chi Kok Park

10 September 2016   23:51 Diperbarui: 11 September 2016   00:25 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi: hkcitylife.com

Aku pernah menunggunya di taman itu saat musim gugur datang, saat kami harus menghabiskan waktu bersama untuk beberapa kepentingan dalam hal pekerjaan di dalamnya. Saat itu angin menyeret daun yang belum sempat mengering untuk terjatuh dari ranting-ranting muda yang masih nampak segar. Bau tanah yang tersiram air masih kental menyengat masuk ke dalam lubang hidungku, bau yang pernah kucium saat aku menyandarkan pundakku di desa kelahiran yang membuat hati adem ayem.

Aku juga menyukai suara yang bersenandung riang, dari burung-burung yang rajin bernyanyi di bawah tetes-tetes sisa air hujan yang masih menempel di sela ranting hingga dedaunan. Hari itu aku menunggunya dengan sedikit tenang, aku menyukai taman yang tak terlalu ramai karena saat itu bukanlah hari minggu. Duduk di bangku yang setengah basah seharusnya membuatku sedikit tak nyaman, namun aku tak menghiraukannya. Celana hitamku tak akan membuat mata mereka sibuk untuk membedakan jika itu memang basah atau akan kering karena sayup-sayup angin dan panasnya siang nanti.

Malam hari sebelumnya hujan sempat membasahi daerah Meifoo, sebuah tempat strategis yang sering dilewati penduduk Hong Kong setiap harinya. Namun setiap kali hujan baru saja berhenti, mereka akan menghindari melewati taman yang kadang masih menapung sedikit banyak genangan air. Tentu banyak dari mereka lebih memilih berjalan di lorong-lorong pertokoan maupun bawah-bawah apartmen untuk menjaga kebersihan sepatu mereka. Mulai dari sneakers hingga sepatu kulit yang mereka sesuaikan dengan tempat kerja mereka, tampil bersih dan rapi merupakan kewajiban bagi beberapa orang diantaranya. 

Setiap kali mataku mengintip sepatu-sepatu itu, sepertinya warna putih adalah warna favorit kebanyakan orang didua musim. Hanya saja sneakers putih tinggi biasanya akan lebih sering dipakai dimusim dingin, sedangkan sneakers rendah akan mereka pakai dimusim panas. Namun ada juga yang tak mempedulikan musim. Masa bodo, asal nyaman saja. Sepertiku yang saat ini memakai sneakers putih, aku tak menyukai warna lain adalah alasan yang sebenarnya.

Sesekali mataku menatap hijau alaminya sekelilingku. Tempat penuh dengan oksigen yang melimpah ini sebenarnya tak begitu jauh dari daerah Meifoo. Lahan seluas sekitar satu hektar ini memang diberi nama Lai Chi Kok Park (荔枝角), Lai Chi berarti buah leci, namun aku tak begitu paham, mengapa dinamakan Lai Chi Kok Park jika bangunan taman ini berdiri di area Meifoo jika dilihat dari letak geografisnya.

Keunikan yang membuatku betah untuk duduk dan berlama-lama bermain di sini tak lain adalah karena bangunan yang unik di dalam taman ini. Taman ini di desain khusus layaknya peninggalan dari dinasti-dinasti China yang terdahulu, namun sebenarnya taman ini adalah bangunan dari pemerintah Hong Kong yang pembangunannya kurang lebih diselesaikan dan diresmikan lebih dari sepuluh tahun silam.

Aku masih sibuk menautkan pikiranku agar dapat menjamahi sudut demi sudut dari taman ini yang dengan leluasa bisa aku ingat. Sebelum akhirnya lelaki itu datang dan membawa seberkas - sesuatu  - yang tak dapat aku pahami dari dua jarak, jauh maupun dekat. 

"Lily!"

Dari kejauhan aku menatap lelaki yang tiga tahun lebih tua dariku itu. Badannya sedikit gemuk sehingga ia berlarian dengan lambat, ibarat anak kecil yang bertemu dengan ibunya setelah mendapat ranking pertama di sekolah. Entahlah, aku lebih suka tersenyum saat melihatnya berlari dengan wajah menggemaskan seperti itu. Juga saat memikirkannya di malam sebelum aku tidur dan berdoa kepada Tuhan, maupun di saat-saat lain yang tak pernah dia tahu. Tanpa banyak bicara lelaki itu duduk di sampingku, sebenarnya bangku ini setengah basah, aku ingin melarangnya tapi mungkin juga akan percuma.

Meskipun kulitnya putih dan matanya lebih sipit dariku, dia bukan lelaki yang terlalu risih dengan tempat yang sedikit kotor, basah, dan tempat-tempat yang membuat orang Hong Kong pada umumnya merasa tak nyaman. Kudengar ia masih sibuk menata kembali nafasnya yang masih setengah sampai - tidak - sampai - tidak. Hingga dia sepenuhnya siap untuk berbicara.

"Apa kamu menunggu lama? Maaf tadi aku kesiangan."

Aku hanya menggelengkan kepala sambil menikmati usapan angin yang pelan-pelan lewat di depan wajah kami. Helai-helai rambutku sedikit terangkat dan jatuh kembali, jauh dari kata rapi. Sesekali aku gunakan jemari tanganku untuk menyisir rambutku pelan. Namun aku lebih sering membiarkan helai demi helainya teracak-acak oleh lamunan angin siang. Asal angin itu tidak marah, itu saja.

"Ini oleh-oleh dari Bali."

Dia menyodorkan sebungkus dark chocholate, karena dia mengetahui kebiasaanku menghindari camilaan berlemak, mungkin saja jika tebakanku benar. Memang sedikit pahit daripada milk chocholate, tapi dark chocholate lebih kaya akan nutrisi dibanding milk chocholate yang sudah dicampur dengan sekian persen gula dan bahan tambahan lainnya. Namun sayang, satu hal yang dia tidak pernah tahu. Aku hanya mengatur pola makanku disaat aku ingat, selebihnya aku lebih suka memanjakan lidahku daripada harus membuat ludahku terjatuh untuk menikmati lezatnya makanan yang dapat aku konsumsi di dunia ini.

Awalnya aku sempat menolak, karena dia tak pernah memberiku oleh-oleh sebelumnya. Hingga akhirnya dia berkata,

"Berikan pada temanmu jika kau tak mau."

Saat itu ia angkat hpnya yang berlayar tak kurang dari 5 inch di depan wajahnya. Aku rasa mungkin dia marah, padahal saat itu aku bingung dengan hadiah semacam itu. Terlebih lagi sudah empat tahun lebih aku tak pernah mencoba berpacaran, sehingga hal seperti ini justru membuatku salah tingkah. 

Aku longokkan kepalaku, hingga dapat mengintip raut wajahnya. Sangat datar, aku bingung karena dia lebih memilih hpnya daripada mengajakku berbicara, meskipun itu hal yang tidak penting; misal, 'manga apa yang kamu baca?' - seperti hari-hari sebelumnya.

"Sudahlah, iya-iya aku makan."

Barulah ia mau menurunkan hp canggihnya itu dan dimasukkan kembali ke kantongnya. Ini pertemuan pertama kami setelah ia sibuk mengikuti pertemuan pekerja dari beberapa negara di Bali pada bulan ini. Sepuluh hari di Bali mungkin sangat dimanfaatkan olehnya; terkadang fikiran unikku mulai berargumen sendiri-sendiri; mungkn saja ia punya pacar di sana, atau bisa jadi ia hanya fokus bekerja seperti yang selama ini aku kenal.

Benar, aku telah mengenalnya selama tiga musim panas jika dihitung dari awal kita bertemu. Aku sempat menyimpan beberapa rasa yang aku coba untuk aku simpan lalu aku ketahui itu semacam rasa suka yang sedikit berlebih. Namun aku tak berniat untuk memilikinya. Bahkan, bisa duduk berdua di taman seperti ini saja sudah membuatku bahagia.

Aku juga sempat berfikir bahwa aku mulai terbiasa untuk mengaguminya, karena otaknya yang cerdas ia mampu meraih posisinya saat ini, di kantornya. Jika bukan karena itu,ia tak akan bisa keliling negara Asia dengan gratis. Begitulah aku memahami sosoknya.

Dan terkadang dia juga baik melebihi seorang pacar pertama dan terakhirku yang sempat kukenal dulu. Dia selalu mendorongku untuk lebih banyak membaca, bahkan ia janjikan sebuah novel akan sampai bulan ini. Bukan tanpa alasan, mungkin dia sering mendengar English Broken-ku yang lebih menyiksa daripada kalimat 'aku sakit' dalam balutan tangis. 

Tak bisa banyak bahasa memang sangat mengerikan, terlebih hidup di negara tetangga seperti ini. Sedikit banyak aku mengikuti sarannya untuk memperbaiki bahasaku yang keteteran. Kembali dia menatap wajahku yang sedang memikirkan banyak hal, dari aku menyukainya hingga alasan-alasan sebagai penguatnya.

Kadang aku membiarkan fikiran konyolku melewati batas-batas sadar, sehingga aku bisa mengucapkan 'aku menyukaimu' saat aku dan dia sudah menjadi kekasih - dalam kekonyolan itu. Namun aku lebih sering salah tingkah atau mungkin salah paham ketika beberapa kali ucapan itu baru dimulai olehnya. Seperti siang itu,

"Apa kamu mencari pacar?'

"Tidak."

"Kenapa?"

"Aku lebih suka bekerja."

"Aku paham."

Dia menatap jauh ke depan sambil sesekali melempar senyum. Kalimatku belum sampai, dan jika menunggu lain waktu aku tak tahu apakah aku akan mendapat kesempatan yang sama.

"Aku lebih suka bekerja." bukan jawaban itu yang aku maksudkan.

"Aku lebih suka bersamamu." itulah yang belum bisa aku katakan. Mungkin harus menunggu hingga musim gugur tahun depan tiba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun