Mohon tunggu...
Rina Sutomo
Rina Sutomo Mohon Tunggu... Berfantasi ^^ -

Hening dan Bahagia menyatu dalam buncahan abjad untuk ditorehkan sebagai "MAKNA"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Setelah Ranjang Ini Selesai

2 September 2016   09:13 Diperbarui: 2 September 2016   09:22 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Putih (http://www.paranormal360.co.uk/)

Aku memulainya dari ranjang putih di antara matahari yang mulai menuruni merahnya senja.

Telah tiga hari ia tinggal dan menikmati ranjang putihku, terkadang kulihat tubuhnya berbaring meliuk mendekap bantal-bantal putih di ranjangku. Sesekali kulihat wajahnya yang lelap, dia manis, bahkan teramat manis untuk mendapat sebuah paksaan.

Terkadang tanganku tak mampu berhenti menjamahi lekuk wajahnya, matanya yang indah membuatku jatuh pada setiap pandangan yang saling beradu. Aku bahkan menikmatinya meski hanya dari kejauhan dengan tangan yang tak lagi menyentuh. Bahkan jika itu tentang milik, dia sudah bukan lagi hakku.

"Kau tak pulang, Mas?"

Dia hanya menggelengkan kepala sambil terus memeluk bantal dengan matanya yang masih tertutup lelah. Sejak pertama memang kami tak bisa bersama, hanya saja dia dan aku selalu beradu rasa untuk saling memaksa.

"Aku tak bisa mencintainya, seperti kamu mencintaiku, Dek."

Perlahan ia buka matanya, jantungku berdegup lebih kencang dari tujuh tahun yang lalu. Setiap tatapannya yang membuatku jatuh, hingga rongga tenggorokan kadang terasa penuh sekat.

"Kamu tahu orangtuaku, aku tak mungkin menceraikannya, Dek."

"Mas, aku tak pernah memintamu untuk itu."

"Kenapa kau tak memintaku? Apa ada lelaki lain yang membelai ranjangmu?"

"Kurasa kamu lebih mengenalku daripada diriku sendiri, Mas."

Bahkan dalam percek-cokan kecil aku masih merasakan kehangatan darinya. Sejenak tangannya berhenti memainkan rambutku, dia duduk di tepi ranjang itu dan membelakangiku.

"Itulah kenapa aku bisa gila. Karena Kamu, Kamu itu."

Dia bergumam lirih, matanya menatap ke luar kamar. Entah bayangan masalalu-kenangan, atau bayangan masa depan-mimpi yang tak jadi kenyataan, yang sedang dia pikirkan, aku tak mampu menebaknya. Dari belakang pun aku masih bisa menikmati keindahan tubuh yang aku cinta itu. Dari jauh, aku sering membingkainya menjadi puisi tanpa syarat, seperti ini;

"Tubuhmu takkan mati jika itu dalam dekapanku, hanya waktu terkadang memaksa angin menyeretmu untuk mati menjauh dari rengkuh tanganku."

Aku telah menikmati caraku berimaginasi tanpa dia, aku tak mampu sekuat ombak menggulung kenangan. Aku hanya mampu menggulungnya ke dalam ranjang putihku yang kemudian menjadi kusut. Aku menikmatinya dalam detak, detik, dan degup jantungku.

"Dek, aku lapar."

"Untuk itulah aku di sini."

"Aku tak akan makan apa pun jika itu dari tangan istriku."

"Bagaimana dengan kopi, Mas?"

"Aku takut diberi sianida."

Dia tertawa sambil menengok ke arahku. Senyumnya, lebih indah dari pantai yang berbariskan pohon kelapa yang mendayu setiap sorenya. Ia membetulkan letak duduknya, matanya masih menjamahi setiap lekuk tubuhku.

"Kenapa kau tak menikah, Dek?"

"Apa kamu yakin?"

Dia terdiam, membaringkan tubuhnya ke ranjang lagi. Dia buka lengannya untukku berbantal.

"Aku lebih suka lenganmu disini setiap malam."

"Lenganku saja?"

"Setidaknya itu tak membuatmu dirindukannya."

"Kau mencemburuinya?"

"Apa yang kau lakukan di ranjang bersama wanita itu, Mas?"

"Ah, aku terpaksa."

"Kau menikmatinya?"

"Sedikit."

"Kau jahat."

Kami hanya terdiam, terkadang lelaki itu ingin menceraikan istrinya. Namun aku selalu menolaknya. Sesering itu juga cemburu merasuki kepala panasku menjamah pikiranku dan mencacah rasa bahagiaku. Aku bilang puas, tapi hanya aku yang tahu, aku tak pernah puas setiap kali dia meninggalkanku dan menjamahi ranjang wanitanya.

"Pulanglah, Mas. Dia pasti telah menunggumu."

"Dia sudah mati, Dek."

"Kapan, Mas?"

"Empat hari yang lalu."

"Oh, jadi Mas ke sini karena dia sudah mati?"

Pandangannya dilambungkan ke langit-langit kamar bersama kesedihan atas kepergian istrinya, mungkin saja. Sesaat hatiku sedikit lega. Mungkin aku bisa menjadi sesudahnya. Dan untuk menjadi ibu tiri dari anak-anaknya aku pun sudah siap sejak lama, sejak tujuh tahun kami menyimpan suka.

"Biarkan aku tinggal lebih lama lagi, Dek."

"Tentu, Mas. Selama yang Engkau mau."

"Polisi sedang giat mencariku."

"Maksudnya Mas?"

"Aku bunuh dia untukmu, Dek."

Lelaki itu menangis dengan tangan yang masih memelukku. Dari tangisnya aku tak bisa memilih apakah itu penyesalan, ataukah itu ketakutan. Aku mengurungkan niat untuk menjadi yang sesudah wanitanya. Sesudahnya itu untuk sebuah rumah tangga, atau sesudahnya karena aku dibubuhi sianida. Aku tak mengerti dengan lelaki itu. Apakah aku harus berlari, ataukah aku harus berdiam di pelukan ini. Jika salah, aku akan dibunuhnya setelah ranjang ini selesai.

"Aku lebih mencintaimu daripada cintanya padaku, Dek."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun