"Kau jahat."
Kami hanya terdiam, terkadang lelaki itu ingin menceraikan istrinya. Namun aku selalu menolaknya. Sesering itu juga cemburu merasuki kepala panasku menjamah pikiranku dan mencacah rasa bahagiaku. Aku bilang puas, tapi hanya aku yang tahu, aku tak pernah puas setiap kali dia meninggalkanku dan menjamahi ranjang wanitanya.
"Pulanglah, Mas. Dia pasti telah menunggumu."
"Dia sudah mati, Dek."
"Kapan, Mas?"
"Empat hari yang lalu."
"Oh, jadi Mas ke sini karena dia sudah mati?"
Pandangannya dilambungkan ke langit-langit kamar bersama kesedihan atas kepergian istrinya, mungkin saja. Sesaat hatiku sedikit lega. Mungkin aku bisa menjadi sesudahnya. Dan untuk menjadi ibu tiri dari anak-anaknya aku pun sudah siap sejak lama, sejak tujuh tahun kami menyimpan suka.
"Biarkan aku tinggal lebih lama lagi, Dek."
"Tentu, Mas. Selama yang Engkau mau."
"Polisi sedang giat mencariku."