Bahkan dalam percek-cokan kecil aku masih merasakan kehangatan darinya. Sejenak tangannya berhenti memainkan rambutku, dia duduk di tepi ranjang itu dan membelakangiku.
"Itulah kenapa aku bisa gila. Karena Kamu, Kamu itu."
Dia bergumam lirih, matanya menatap ke luar kamar. Entah bayangan masalalu-kenangan, atau bayangan masa depan-mimpi yang tak jadi kenyataan, yang sedang dia pikirkan, aku tak mampu menebaknya. Dari belakang pun aku masih bisa menikmati keindahan tubuh yang aku cinta itu. Dari jauh, aku sering membingkainya menjadi puisi tanpa syarat, seperti ini;
"Tubuhmu takkan mati jika itu dalam dekapanku, hanya waktu terkadang memaksa angin menyeretmu untuk mati menjauh dari rengkuh tanganku."
Aku telah menikmati caraku berimaginasi tanpa dia, aku tak mampu sekuat ombak menggulung kenangan. Aku hanya mampu menggulungnya ke dalam ranjang putihku yang kemudian menjadi kusut. Aku menikmatinya dalam detak, detik, dan degup jantungku.
"Dek, aku lapar."
"Untuk itulah aku di sini."
"Aku tak akan makan apa pun jika itu dari tangan istriku."
"Bagaimana dengan kopi, Mas?"
"Aku takut diberi sianida."
Dia tertawa sambil menengok ke arahku. Senyumnya, lebih indah dari pantai yang berbariskan pohon kelapa yang mendayu setiap sorenya. Ia membetulkan letak duduknya, matanya masih menjamahi setiap lekuk tubuhku.