"Oh, neliti Reog untuk bikin skripsi ya? Perasaan aku dulu juga kuliah, tapi ngga ribet kaya kamu ini!"
Saya masih ingat, wanita cantik dengan nada kasar itu menghardik saya dengan raut muka yang sinis. Saya hanya menunduk lalu menjawab, "Iya Mbak." Saat itu saya hanyalah seorang mahasiswi tingkat akhir yang sedang memulai penelitian tentang kesenian Reog Ponorogo. Sesuai nasihat Dosen Pembimbing kedua saya, pertama kali yang saya tuju adalah kantor Disbudparpora Ponorogo yang saat itu terletak tepat disebelah GOR Kabupaten Ponorogo.
Senin, 22 April 2013, saya masih ingat betul pagi itu saya berangkat ke Ponorogo pagi-pagi sekali. Dari rumah kos yang berada di Madiun, saya mengendarai sepeda motor menuju Ponorogo hanya untuk keperluan penelitian tersebut. Namun sesampainya di tempat tujuan siapa sangka kalimat bernada ketus itulah yang menjadi penyambut kedatangan saya.
"Mbak Rina ini ya yang ingin melakukan penelitian mengenai Reog itu? Kami senang sekali ada penelitian tentang Reog, apalagi Mbak berasal dari luar Ponorogo." Kalimat sederhana yang membuat hati dan telinga saya 'adem' pagi itu. Dengan keramahan yang tidak saya sangka-sangka akhirnya sedikit demi sedikit grogi saya mulai hilang. Tak lama kemudian beliau juga mencarikan buku referensi untuk studi dokumentasi yang sedang saya lakukan. Sebuah buku 'Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa', buku 'Reyog Ponorogo', data tentang persentase pengunjung pada Festival Reog (dari staf tata usaha), serta dokumen-dokumen lain yang saya perlukan dapat saya kumpulkan hari itu juga.Â
Setelah data-data tersebut berhasil saya copy, saya kembali ke kos dan mulai melakukan analisis data. Keesokan harinya saya melakukan wawancara dengan Drs. Ahmad Budi Satriyo M.Si, beliau menjabat sebagai sekretaris Yayasan Reog Ponorogo. Wawancara tersebut kami lakukan di Gedung Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo. Pada saat wawancara tengah berlangsung saya sempat kaget, selain sebagai sekretaris Yayasan Reog Ponorogo ternyata beliau juga salah seorang seniman di Ponorogo ini. Beliau sangat merespon kedatangan saya pagi itu, dengan penuh wibawa beliau menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan baik. Tegas dan sopan, begitulah kesan yang saya tangkap pagi itu.Â
Minggu selanjutnya saya melakukan studi dokumentasi serta wawancara khusus kepada pegiat seni Reog Ponorogo. Beliau adalah Mas Wisnu HP yang namanya berkibar tinggi di jagad Reog. Beliau yang juga merupakan Pendiri Sanggar Seni Sabuk Janur ini memperlakukan saya selayaknya teman sendiri. "Nduk" (dalam bahasa Jawa, merupakan panggilan untuk orang yang lebih muda, panggilan yang menunjukkan keakraban) begitulah setiap kali beliau memanggil saya, baik ketika wawancara maupun ketika kami sedang dalam kegiatan observasi yang dilakukan hingga tengah malam di Gedung Kesenian Ponorogo.
Di usia saya yang terbilang masih muda, saya tak membatasi diri saya untuk bergaul dengan siapa saja dan terjun ke bidang apa saja sebagai hobi, kewajiban, ataupun keinginan. Saya bukanlah apa-apa dibanding mereka yang tenar dan berbakat di bidangnya masing-masing, karena sampai hari ini saya belum dapat meng-improve diri saya dengan sepenuhnya. Namun saya hanya berbagi pengalaman dari banyaknya pelajaran yang saya ambil ketika keadaan memaksa saya di posisi atas, begitu pula ketika keadaan menempatkan saya di posisi bawah.
Dalam penelitian itu saya berada di posisi bawah, dimana saya harus menunggu sampai narasumber mempunyai waktu luang untuk saya wawancarai. Saya juga harus mengikuti saat pelatih dan pendiri Sanggar Seni Sabuk Janur tersebut melakukan latihan di Gedung Kesenian Ponorogo hingga jam satu malam. Karena waktu itu adalah saya dalam posisi sebagai "yang membutuhkan". Begitu pula ketika salah seorang staf memperlakukan saya dengan tidak baik, saya menunduk karena posisi saya waktu itu hanya sebagai tamu.
Kenyataan yang membuat saya belajar banyak hal adalah, bagaimana kita seharusnya memperlakukan orang lain. Ketika staf (bawahan) yang bekerja di Kantor Disbudparpora melontarkan kalimat pedas hanya karena saya hanyalah seorang mahasiswi, namun sebaliknya Bapak Kepala Bidang Kebudayaan justru memperlakukan saya dengan baik sebagai seorang peneliti. Begitu pula dengan Bapak Sekretaris Yayasan Reog Ponorogo dan Mas Wisnu HP sebagai Pendiri Sanggar Seni Sabuk Janur merespon maksud dan tujuan saya dengan baik.
Begitulah orang-orang besar yang dapat menghargai kepentingan orang lain, mereka menghargai orang-orang kecil dengan kepentingan-kepentingannya. Namun di bawahnya seringkali para staf justru memperlakukan tamu (orang yang tidak dikenal) layaknya sampah. Namun menurut pemikiran saya, jika waktu itu saya bilang, "Saya ini anak Pak Bupati," mungkin saja si staf tersebut akan menundukkan kepala.Â
Saya tak heran banyak orang yang tak menghargai orang lain hanya karena baju yang dikenakannya. Padahal belum tentu si pemakai jas adalah orang kaya, bisa saja jas itu adalah barang temuan. Mengapa tidak bisa menghargai orang lain? Pada dasarnya kita sama-sama manusia.
Baiklah, kejadian itu sudah lama terjadi. Dan yang beberapa hari ini baru saja saya alami adalah sesuatu yang benar-benar membuat saya tersenyum lebar. Ringkas cerita saya hanya ingin melakukan wawancara mengenai buruh migran Indonesia di Hong Kong dengan beberapa narasumber yang juga berstatus sebagai buruh migran. Saya pikir saya akan mendapatkan hasil, namun saya salah.Â
Narasumber yang bersangkutan menyanggupinya namun ketika saya tunggu, satu hari, dua hari, ternyata tidak ada jawaban. Padahal jawaban pertama adalah, "Iya, nanti ya (malam harinya)." Saya juga sempat menegaskan bahwa saya membutuhkan data hari itu juga. Jika memang tidak dapat memberikan jawaban seharusnya bilang saja, "Saya tidak bisa." Dengan begitu sudah cukup, saya dapat mencari sumber lainnya.Â
Bapak-bapak yang duduk di jabatan yang telah saya sebutkan di atas selalu menghargai waktu orang lain. Terbukti ketika beliau menyanggupi hari Senin wawancara, maka hari Senin itu juga saya dapat menemui beliau. Mereka menghargai waktu orang lain karena mereka sepenuhnya paham konsep menghargai orang lain, serta konsep menghargai waktu. Biasanya mereka para orang besar dapat menjadi orang besar karena kebiasannya menghargai hal-hal kecil.
Tak ada salahnya memang, terkadang kita harus belajar dari orang besar yang berhati besar. Bukan orang kecil yang terlalu berbesar hati.
Tak masalah kita hanya menjadi orang kecil asal berhati besar, siapa tahu.......... Kelak akan menjadi orang besar..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H