"Banyak kerugian kalau saya menyebarkan kesedihan dalam aib-aib saya, gak ada dampak yang positif malah jadi gunjingan." Demikian kata seorang pesohor muda yang telah bercerai dengan suaminya.
Hanya sedikit yang memiliki pemahaman seperti itu, terlebih di zaman  penuh  fitnah seperti sekarang ini. Di mana menebar aib, mengeluh, menjual penderitaan, sudah dianggap biasa, bahkan mendapatkan banyak dukungan melalui jempol, tanda cinta hingga diangkat menjadi sebuah film.
Begitu mudahnya kita mengakses berita hoaks dan berita selebritas yang seringnya menjadi bahan bakar ghibah nasional. Hingga batas kebenaran dan ketidakbenaran pun semakin tipis.
Pada hidup yang hidup, harusnya tak mematikan siapa pun dengan penghakiman, dengan prasangka buruk, apalagi diri merasa lebih baik dari orang lain. Seperti yang dikatakan oleh Fritjof Schuon.
"Yang kurang di dunia saat ini adalah pengetahuan mendalam tentang hakikat segala sesuatu."
Hampir setiap hari kita melihat, membaca, juga mendengar tentang perpisahan antar dua kekasih, atau antar suami istri. Ketika cinta bersemi, semua terlihat dan diperlihatkan begitu indahnya, bagai memastikan bila semua akan abadi dan selesai sampai batas akhir, yaitu kematian.
Siapa yang tak iri dengan pasangan BJ. Habibie dan Ainun, yang saling setia hingga kematian menjemput. Tak ada keinginan untuk menggantikan, karena pada cinta yang utuh, tak tersedia ruang kosong yang butuh untuk diisi.
Kita hendaknya menjaga keterjagaan diri sepanjang menjalani kehidupan. Setiap awal akan berakhir, setiap orang yang datang akan pergi. Setiap hal baru akan menjadi tua. Setiap hal yang segar menjadi basi. Setiap makhluk hidup pasti akan mati.
Ketika bahtera perkawinan runtuh, tak seharusnya mulut dan hati ikut runtuh dengan menguar aib-aib yang dulunya mampu diterima. Tak harus melepas dalam kebencian, apalagi dendam. Sesakit apa pun terasakan. Hendaklah terus mengingat, bahwa Allah memberikan ujian pada setiap hambaNya sesuai dengan kadar kekuatannya.
Sungguh ... ketika kita melemahkan diri sendiri, tatanan kekuatan yang dipersiapkan Sang Maha Pemilik, akan runtuh dengan sendirinya. Dan itu semua kerena ketidaksadaran diri sendiri.
Lalu, bagaimana bisa menyembuhkan luka batin bila tak mengeluh, bila tak curhat?
Kita boleh mengeluh hanya pada orang yang mampu memberikan solusi, bukan pada media sosial, apalagi pada semua orang. Tak perlu mencari belas kasihan pada manusia, atau playing victim demi mencari atensi. Pada hidup yang dihidupkan, kejujuran, pandainya mengontrol diri, menjadi penyuluh terbaik.
Ketika perceraian tak terelakkan, aturlah semua agar tak semakin menjorokkan diri dalam lubang sakit dan derita yang dalam. Bukan hanya bagi diri sendiri, pun bagi yang pernah dicintai, yaitu pasangan kita.
Siapa di dunia ini yang tak memiliki aib? Tak ada!
"Tapi dia menjelek-jelekkan saya di pengadilan! Saya harus membalasnya." seru seseorang penuh rasa kesal.
Siapa yang tak sakit bila mendapatkan perlakuan tak seharusnya, apalagi difitnah. Sebagian besar orang akan mendukung bila dia membalas hal tersebut, menganggap sebuah kewajaran. Tetapi kita mesti ingat, bahwa suara terbanyak tak menjamin sebuah kebenaran.
"Semua akan berlalu. Tak ada yang abadi di dunia ini."
Mungkin nasihat di atas dianggap klise, tetapi bila kita mau sejenak berpikir, begitu dalam maknanya. Bahwa setiap masalah sepelik apa pun, pasti akan berakhir. Setiap kesenangan pun kebahagiaan juga akan berakhir. Semua ada waktunya. Sepanjang apa pun lidah berkata, ada saatnya dilupakan. Seheboh apa pun kejadian, ada masa orang tak lagi peduli.
Lihat ketika dua orang yang dulunya saling mencinta, bertarung di pengadilan untuk bercerai, hanya sedikit yang berada dalam kehati-hatian untuk menutup setiap aib yang ada pada keduanya. Saling berbalas, bahkan tak ragu sampai ada yang menghadirkan kesaksian palsu demi mendapat 'keuntungan' yang ujungnya hanya menimbulkan luka.
Bahkan yang setengah mati menutup aib, sekarang pun harus menghadapi kondisi di mana setiap yang berperkara dengan segala prosesnya bisa diakses bebas melalui situs pengadilan. Tak ada yang lebih baik dari bersibuk mencari aib sendiri dibanding harus membuka dan mengetahui aib orang lain melalui sebuah tulisan atau berita, yang belum pasti kebenarannya.
Seperti kata Seno Gumira pada sebuah acara,"Tak ada kebenaran mutlak di dunia ini, juga dengan kesalahan."
Mata hanya melihat sebatas yang ingin dilihat. Kebenaran ... menurut siapa? Kesalahan ... menurut siapa?
Ayah rahimahullah pernah dihina seseorang dan saya menyaksikan, beliau memilih diam membiarkan semua kata itu berlalu. Ketika saya tak terima. Beliau dengan tenang menyuruh saya tetap duduk.
"Kata-kata itu hanya bermakna ketika kita memaknainya. Menjadi menyakitkan ketika kita terima dengan pikiran buruk. Apakah dengan membalasnya, kata-kata yang telah lepas tadi bisa ditarik kembali?"
Saya diam dengan napas masih mendengkus. Pada tarikan masa, di usia yang tak lagi muda, baru mampu saya artikan dengan menunduk. Betapa lelaki yang menjadi cinta pertama saya, begitu penuh kebijakan tak bertepi, begitu penuh dengan keteladanan dalam diamnya. Kokoh dalam mengendalikan nafsu sendiri.
Api akan membesar ketika kita siram dengan bensin. Api akan menghabiskan semua yang dilahapnya. Begitu juga dengan air, yang dibutuhkan setiap makhluk hidup, ketika meluap menjadi banjir, semua akan dihanyutkan.
Pada hidup yang hidup, tetaplah ada dalam denyut kehati-hatian, sekecil apa pun laku yang akan kita lampahkan.
Ingat selalu ...
"Kau datang tanpa pakaian, kau akan pergi tanpa pakaian ... Kau datang dalam keadaan lemah, kau akan pergi dalam keadaan lemah ... Kau datang tanpa uang dan barang, kau akan pergi tanpa uang dan barang ... Mandi pertamamu? Seseorang memandikanmu. Mandi terakhirmu? Seseorang akan memandikanmu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H