Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Joice

25 Desember 2020   14:05 Diperbarui: 25 Desember 2020   14:18 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu melesat begitu cepat. Tak jarang, melesetkan hitungan. Bagi kenangan indah, dia menjadi erat. Bagi kenangan lain dia menyesakkan.

Aku diam membuka masa. Semalam, kudapatkan pesan pengundang air mata. Joyce, sahabat kecilku telah berpulang. Kami saling mendekap sepanjang hayat, sejak dia datang sebagai tetangga sebelah. Perempuan yang selalu bersibuk, sedikit terbahak dalam wajah kesungguhannya.

Kami terikat dalam rajutan benang. Kesukaannya menyulam, juga segala yang terkait dengan gulungan beraneka warna, menarik perhatianku. Dia berbeda, itu yang aku tahu. Tidak ikut arus, tak juga riuh dalam kicauan. Memilih duduk di kursi untuk merajut. Tak peduli dengan keributan sekitar, tanpa harus menghindari pertemanan.

Kuingat bagaimana aku melihat kesendiriannya yang nikmat di sebuah ruang. Kuhampiri, kudesak seseorang yang duduk di dekatnya hanya untuk berada teapt di sisinya. Dia melirik, lalu tersenyum kecil.

"Kamu siapa?" tanyaku tanpa ragu.

"Joice. Aku adik si Natali. Kamu?" sahutnya ramah tanpa melepas benang yang melingkari jari jemari kecilnya.

"Aku Aini."

"Oh ... anak Pak Hamzah ya?" tanyanya balik. Aku mengangguk sambil terus menatap yang sedang dia kerjakan.

Sejak hari itu Joice menjadi teman yang paling kusuka. Kami punya banyak persamaan. Tak suka banyak bicara, tak suka keramaian. Tanpa kuminta, dia mulai mengajariku mengakrabi benang. Kami membuat kruistik, menyulam, hingga memadukan perca untuk dijadikan hal yang tak terpikirkan banyak orang.

Joice begitu perempuan, segala yang disukai tak jauh dari dunia ketelatenan. Dia ajariku membuat bunga kertas, bunga dari benang, juga dari kancing. Setiap hari, tanpa harus saling berjanji, kami bertemu.

Dia memanggil Papi pada ayahnya, aku memanggil Ayah. Kedua bapak kami cukup akrab, bahkan tak jarang tertawa bersama saat bicara di teras. Saat Idul Fitri, kami undang keluarga mereka menikmati ketupat, saat Natal kami menikmati makan malam bersama mereka tanpa harus mengucap apa pun. Suka cita penuh kehangatan.

Segalanya begitu indah bersama ketulusan. Hingga akhirnya kami terpisah. Papi si Joice harus pindah bertugas di kota lain. Tetapi kami masih lanjutkan hubungan dengan bertukar surat. Belum ada ponsel saat itu, bahkan telepon belum terpasang di setiap rumah. Jika aku mencoba mengingat segala yang kami tulis, sungguh tak akan cukup kuceritakan dalam satu hari.

Tautan nasib tak jarang memberi senyuman. Kami menemukan jodoh dalam waktu yang nyaris bersamaan. Kami saling hadir di acara pernikahan. Dia turut menyaksikan akad nikahku di masjid, aku turut menyaksikan pernikahannya di gereja. Kami saling memeluk penuh rindu saat itu. Suami kami tentu saja menjadi berteman baik.

Tinggal di satu kota, saling berkunjung menjadi kebutuhan, walau hanya dua tahun. Suami Joice harus bertugas ke luar pulau. Kembali kami terpisah. Kesibukan membina keluarga, tanpa sadar, membuat kami tertarik jauh hingga tak lagi saling menemukan.

Beberapa tahun lalu, media sosial kembali menautkan kami. Bertukar nomor ponsel tak terhindarkan. Petualangan kami berlanjut. Saling bercerita tentang rentang waktu yang lesap. Bahwa dia memiliki satu anak, yang dikatakannya sangat mahal. Bahwa dia sempat mendengar kematian ayahku, juga dia kabarkan papinya yang juga telah tiada.

Beberapa bulan terakhir, baru dia mengatakan bila kanker telah menggerogoti tubuhnya. Cerita yang membuatku tersedu.

"Kau tahu Aini, kanker kehidupanku jauh lebih mengerikan dibanding yang ada di tubuhku. Semua telah kulalui dan kupotong satu demi satu. Ada jeritan, tangisan, juga ketidak mengertian menyertaiku. Hingga aku berharap mati, pernah  terlintas begitu saja ...," dia mengatakannya lewat hubungan ponsel dengan napas tersengal. "Puji Tuhan, kita kembali dipertemukan. Setidaknya kita yang memiliki awal, akan miliki juga kenangan terakhir."

Rebas air mataku mendengar segala cerita hidupnya. Bagaimana dia terus melayani di setiap keadaan. Bahkan setelah suaminya berpulang. Apa yang disukai dia bagikan kepada banyak orang. Kakaknya, Natali sempat menyambangiku. Bercerita bagaimana sang adik begitu dicintai di kampungnya. Selalu menolong tanpa pamrih, pada siapa pun.

"Dia memaknai perbedaan sebagai berkat. Tak sekalipun, dia menjadikan masalah, apalagi mencari keuntungan. Seperti ajaran Papi dulu. Bahwa kita semua bersaudara dalam kemanusiaan."

Semalam, saat sebagian bergegas melakukan ibadah di malam natal, aku mendengar dari Edo, putra satu-satunya bila Joice telah berpulang. Berlatar lantunan doa aku mendengar isak kecilnya.

"Mama sangat sayang tante. Selalu ceritakan tentang persahabatan istimewa dengan tante ... Banyak nasihat yang telah ditulis sebelum kanker menyedot semua pertahanan tubuhnya."

Edo menyertakan gambar sebuah tulisan di kertas. Tulisan yang sangat kukenal.

Persahabatan selalu abadi bersama kebersihan hati pelakunya. Saling menghormati setiap batas yang harus dikenali.

Kata-kata terakhir yang aku ingat darinya terngiang tanpa kuundang.

"Aini, kau pemilik mata yang indah. Kita banyak tertawa bersama saat kecil. Jangan hentikan. Bahkan ketika aku harus kalah dari kanker di tubuhku. Jangan menangis, sahabatku. Biarlah hidup kita terus ada bersama perayaan demi perayaan. Pun perayaan kepergianku menuju keabadian."

Aku terpekur sendiri. Lekas kuusap air mataku. Kuganti dengan senyuman menyertai ucapan selamat datang di keabadian pada sahabatku, Joice, dari dalam hatiku.

KL, 25 Desember 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun