Bandingkan dengan yang kuliah jauh dari orang tua, bukan hanya di luar kota atau pulau, apalagi yang di luar negeri. Baik peraih beasiswa ataupun tidak, pasti berbeda perjuangannya. Untuk makan, mobilitas dan lainnya pastilah dipikirkan sendiri. Dari saat sebelum kuliah pun, harus mencari tempat tinggal yang sesuai dengan anggaran. Saat dia tiba, mau tak mau harus mengenali lingkungan baru dengan segala adat dan kebiasaan yang berbeda, lalu dia juga harus pandai berhitung dengan uang yang diterimanya setiap bulan, untuk membeli buku, uang makan, transportasi, binatu dan hal yang di luar dugaan seperti sakit dan lainnya.
Hal-hal yang dahulunya tak terpikirkan, harus dipikirkan saat sudah hidup sendiri.
Manusia punya kemampuan yang sama. Tetapi kemudahan atau kemanjaan membuat perbedaan. Hidup ini keras, saat dihadapi dengan kelemahan, maka yang terjadi adalah tamparan demi tamparan akan dihadapi penuh kesakitan. Tetapi saat sudah terbiasa menghadapi kekerasannya, maka hidup akan terasa lebih ramah, dan besar kemungkinan akan keluar sebagai pemenangnya.
Ketika kita hidup sendiri, setiap langkah menjadi diperhitungkan. Pikiran menjadi pecah dan kreatif ketika menghadapi kesulitan. Keterbatasan adalah awal dari keberanian menghadapi realitas, atau sebaliknya membuat frustrasi lalu depresi yang ujungnya bunuh diri. Tanpa merasakan kesulitan, manusia tidak akan berkembang.
Lihat bagaimana orang-orang yang sukses, dia menghadapi segala kesulitan dan hal yang dianggap tak mungkin menjadi mungkin. Kegagalan dalam berusaha, tak mengecilkan nyalinya. Dia akan terus mencoba dan mencoba, tak mau terlalu lama larut dalam kesedihannya. Tidak ada dalam kamus hidupnya untuk menyerah atau berhenti, selama napas masih menyertai.
Begitulah harapan saya ketika melepas anak keluar seusai tamat sekolah menengah atas.
Bersyukur, terjadi perubahan saat mereka telah lulus. Tak ada yang meminta tolong untuk dicarikan pekerjaan. Cara berpikir mereka berbeda. Mencari peluang atau menciptakannya. Bukan seperti sebagian anak-anak orang kaya yang bahkan sampai pekerjaan pun minta atau tidak, dicarikan orang tuanya dengan memanfaatkan kenalan-kenalan mereka.
Ketika manusia terus disuapi dan tak pernah berusaha untuk makan sendiri, maka dia akan menjadi pejuang yang lumpuh. Dia mengenali senjata, tetapi tak tahu bagaimana cara menggunakannya. Dia kenali medan perjuangan, tetapi tak mengenali di mana markasnya. Dia kenali banyak manusia, tanpa mampu membedakan mana yang baik dan sebaliknya. Dia melihat segala kejadian, tanpa mampu melihat di mana dia berdiri.
Apakah masih pantas dinamai hidup ketika semua potensi diri dimatikan? Lalu bagaimana disebut sebagai sebuah kehidupan bila tak ada yang dijalaninya dengan 'hidup'?
Hidup kita harusnya lebih bermakna bila kita tahu bagaimana menyalakannya.
Jangan pernah tertipu dengan kata aman dalam kehidupan ini. Jika kehidupan ini memang sebuah tempat yang aman, lalu kenapa terus bergaung kata bahwa hidup adalah perjuangan?