Hanya dalam hitungan jam, sebagian orang tua masih berharap agar anaknya bisa diterima di perguruan tinggi negeri yang punya beragam jalur. Sebagian yang lain sudah memersiapkan anaknya untuk berlabuh di luar itu. Sebagian orang tua tak menerima, sebagian lagi anaknya yang tak menerima.
Inilah realitas. Inilah kehidupan, dan begitulah manusia. Sebagian masih hidup dalam kotak-kotak yang diciptakan sendiri, sebagian lagi menyadari bila apa pun usaha yang sudah dilakukan jika tak beriring dengan rencanaNya tak akan pernah terjadi dan memilih menerima.
Dari apa yang diceritakan orang tua, banyak lulusan SMA memilih jalur aman dengan mendaftar pada banyak PTN, dengan harapan lolos pada salah satunya. Saat sudah diterima di salah satu PTN, masih berharap PTN yang difavoritkannya menerima juga. Banyak yang tak menyadari, jika sudah diterima di salah satu PTN sudah tak bisa diterima di PTN lainnya.
Mereka belum memahami bila di dunia ini tak ada yang namanya jalur aman. Bahwa setiap apa yang kita perbuat, sekecil apa pun, selalu ada risiko yang menyertai. Dipersiapkan atau tidak, suka atau tidak, begitulah kehidupan menampakkan hukumnya, baik disadari ataupun tidak.
Sedikit saya ingin berbagi tentang bagaimana saya punya aturan  pada anak-anak, yang bagi sebagian orang tua lain, mungkin dianggap sedikit edan. Asal sudah lulus SMA, saya 'usir' semua dari rumah.
Diusir?
Ya, sudah tak ada yang boleh tinggal bersama orang tua lagi, karena sudah saatnya mereka menghadapi dunia yang sebenarnya. Itulah kenapa saya melarang mereka memilih perguruan tinggi yang dekat dengan rumah. Saya ingatkan, di mana pun adalah bumi Allah. Menyebarlah, agar mereka tahu bahwa dunia ini begitu luas. Agar pikiran mereka juga terbuka seluas mungkin dengan berani keluar dari zona nyaman di rumah. Mengenali perbedaan itu harus.
Jika perbedaan kecil di sekitar saja sudah membuat jadi manusia sumbu pendek, bagaimana dengan perbedaan yang lebih besar di tempat lain? Hidup tak sekadar mengejar gelar akademis semata. Sarjana kehidupan juga dibutuhkan untuk mampu menjalani hidup dengan sebaik mungkin.
Lihat bagaimana bila terus di rumah. Saat makan, masakan ibu sudah menunggu. Saat hendak keluar, yang memiliki kendaraan tinggal meminta izin atau mengambil kunci mobil atau motor dan keluar. Saat kehabisan uang, tinggal meminta pada orang tua. Pakaian kotor juga sudah ada yang mencuci dan menyetrika. Sakit juga pasti dirawat oleh keluarga.
Jika ada yang dalam keadaan senyaman itu, sebagai mahasiswa Anda tidak berprestasi, ah alangkah ruginya.
Bandingkan dengan yang kuliah jauh dari orang tua, bukan hanya di luar kota atau pulau, apalagi yang di luar negeri. Baik peraih beasiswa ataupun tidak, pasti berbeda perjuangannya. Untuk makan, mobilitas dan lainnya pastilah dipikirkan sendiri. Dari saat sebelum kuliah pun, harus mencari tempat tinggal yang sesuai dengan anggaran. Saat dia tiba, mau tak mau harus mengenali lingkungan baru dengan segala adat dan kebiasaan yang berbeda, lalu dia juga harus pandai berhitung dengan uang yang diterimanya setiap bulan, untuk membeli buku, uang makan, transportasi, binatu dan hal yang di luar dugaan seperti sakit dan lainnya.
Hal-hal yang dahulunya tak terpikirkan, harus dipikirkan saat sudah hidup sendiri.
Manusia punya kemampuan yang sama. Tetapi kemudahan atau kemanjaan membuat perbedaan. Hidup ini keras, saat dihadapi dengan kelemahan, maka yang terjadi adalah tamparan demi tamparan akan dihadapi penuh kesakitan. Tetapi saat sudah terbiasa menghadapi kekerasannya, maka hidup akan terasa lebih ramah, dan besar kemungkinan akan keluar sebagai pemenangnya.
Ketika kita hidup sendiri, setiap langkah menjadi diperhitungkan. Pikiran menjadi pecah dan kreatif ketika menghadapi kesulitan. Keterbatasan adalah awal dari keberanian menghadapi realitas, atau sebaliknya membuat frustrasi lalu depresi yang ujungnya bunuh diri. Tanpa merasakan kesulitan, manusia tidak akan berkembang.
Lihat bagaimana orang-orang yang sukses, dia menghadapi segala kesulitan dan hal yang dianggap tak mungkin menjadi mungkin. Kegagalan dalam berusaha, tak mengecilkan nyalinya. Dia akan terus mencoba dan mencoba, tak mau terlalu lama larut dalam kesedihannya. Tidak ada dalam kamus hidupnya untuk menyerah atau berhenti, selama napas masih menyertai.
Begitulah harapan saya ketika melepas anak keluar seusai tamat sekolah menengah atas.
Bersyukur, terjadi perubahan saat mereka telah lulus. Tak ada yang meminta tolong untuk dicarikan pekerjaan. Cara berpikir mereka berbeda. Mencari peluang atau menciptakannya. Bukan seperti sebagian anak-anak orang kaya yang bahkan sampai pekerjaan pun minta atau tidak, dicarikan orang tuanya dengan memanfaatkan kenalan-kenalan mereka.
Ketika manusia terus disuapi dan tak pernah berusaha untuk makan sendiri, maka dia akan menjadi pejuang yang lumpuh. Dia mengenali senjata, tetapi tak tahu bagaimana cara menggunakannya. Dia kenali medan perjuangan, tetapi tak mengenali di mana markasnya. Dia kenali banyak manusia, tanpa mampu membedakan mana yang baik dan sebaliknya. Dia melihat segala kejadian, tanpa mampu melihat di mana dia berdiri.
Apakah masih pantas dinamai hidup ketika semua potensi diri dimatikan? Lalu bagaimana disebut sebagai sebuah kehidupan bila tak ada yang dijalaninya dengan 'hidup'?
Hidup kita harusnya lebih bermakna bila kita tahu bagaimana menyalakannya.
Jangan pernah tertipu dengan kata aman dalam kehidupan ini. Jika kehidupan ini memang sebuah tempat yang aman, lalu kenapa terus bergaung kata bahwa hidup adalah perjuangan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H