Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahkan Anakmu Bukanlah Milikmu

1 Februari 2020   12:40 Diperbarui: 1 Februari 2020   12:59 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari ini, bagi remaja yang duduk di kelas akhir sekolah menengah atas adalah hari-hari yang sibuk. Bukan hanya mereka, sebagian orang tua juga ikut sibuk, plus ikut tegang, stress dan lainnya memikirkan masa depan bagi anak-anaknya menyangkut soal kelanjutan pendidikan mereka. Kebanyakan, para remaja ini sudah banyak diikutkan bimbingan belajar sebagai usaha untuk mampu menembus perguruan tinggi negeri atau favorit.

Saat pengambilan rapor Desember lalu, wajah-wajah tegang mereka menghiasi ruang kelas saat hendak dibagikan wali kelas. Yang mereka tahu nilai haruslah tinggi agar dilirik, atau jika bisa mendapat undangan untuk masuk ke perguruan tinggi favorit nantinya. Ibaratnya mereka bagai orang yang menunggu keputusan pengadilan untuk sebuah hukuman.

Bersyukurnya saya yang dari dulu tak pernah pusing dengan nilai rapor anak-anak, walau punya harapan yang sama dengan orang tua lainnya. Mengapa? Karena orang tua saya dulu juga bersikap seperti itu. Mereka percaya pada kemampuan anaknya masing-masing, juga percaya pada apa yang nanti jadi kehendakNya. Banyak hal di dunia ini yang tak selalu sama dengan perhitungan manusia. Kami dihargai sebagai manusia, bukan sebagai barang.

Saat keluar ruangan, sesudah menerima rapor, saya belum ingin membukanya, bahkan sudah diambil anak saya dan menikmati selasar sekolah yang adem. Di samping saya, seorang gadis menghampiri ayahnya yang sedang sibuk melihat angka dan huruf di rapor. Tak lama kemudian sang ayah sedikit keras berkata pada putrinya,"Apa ini? kok malah turun nilainya?!"

Sang putri langsung ikut memperhatikan. Ada wajah kecewa, entah karena nilainya, ataukah teguran sang ayah. Dia terlihat murung seketika, dan mengiringi langkah ayahnya dengan lesu.

Melanjutkan jalan, seorang ibu menanyakan Indeks Prestasi Kumulatif rapor anak saya untuk membandingkan dengan anaknya. Beruntung, rapor sudah diambil, hingga hanya menjawab,"Saya belum lihat, Bu. Sudah diambil anak saya."

Di depan pintu keluar, ibu yang sama terus menanyakan ibu-ibu lain tentang IPK anak-anak mereka dengan wajah rusuh. Saya memutuskan untuk pulang.

Hari-hari menjelang ujian nasional bulan depan, anak saya bercerita tentang teman-temannya yang berhasil masuk pemeringkatan 40% dan bagaimana cerita dibaliknya. Bagaimana yang tidak masuk harus bersiap untuk berjuang lebih keras. 

Bagaimana yang masuk peringkat tersebut, penuh optimisme akan mampu melaju dan masuk PTN yang diinginkan. Juga bagaimana yang walau masuk daftar yang 'menjanjikan' itu tak bahagia karena hanya memenuhi tuntutan orang tuanya, bukan keinginannya sendiri.

Seorang gadis yang ingin kuliah di Universitas negeri di Jogja, namun tak diizinkan karena jauh dari rumah. Juga karena dia anak bungsu, dan orang tuanya tak mau ditinggal hidup sendiri. Gadis itu meratap di media sosialnya. Cukup memilukan, karena dia merasa sudah jadi anak patuh sepanjang hidupnya, namun saat ingin meraih cita-citanya sendiri, dihambat begitu saja.

Sebuah kalimat yang paling menyesakkan tertulis di sana," ... harusnya aku sudah jadi pemberontak sejak dulu."

Banyak orang tua yang lupa, bila anaknya bukanlah miliknya. Memperlakukan anak layaknya property, sama artinya menyamakan anaknya dengan mobil dan semua benda tak bergerak dan tak 'berpikir' yang bisa dipakai, ditukar atau dibuang kapan saja.

Anak adalah amanah. Kita harus merawat, membesarkan dan mendidiknya sebaik mungkin. Menghargainya sebagai sosok yang punya sikap, kemauan, cita-cita dan prinsip harusnya juga dilakukan. Kita boleh membentuknya sebaik mungkin, tetapi tidak untuk kita bentuk sebagai manusia yang harus menuruti semua kemauan kita, terutama juga tentang passionnya.

Haruskah seorang dokter, anaknya mesti dipaksa jadi dokter? Begitu juga lainnya.

Di sini kebanyakan seperti itu. Tak memberikan kesempatan anak untuk menjadi dirinya sendiri. Dan hanya menjadikan anak sebagai foto copy orang tua. Banyak yang lupa bila hidup sebenarnya tak menjamin kepastian apa pun selain pasti mati.

Anak-anak yang tak pernah diberi kesempatan untuk menjadi seperti apa yang dicita-citakan, sama artinya tak diberi bekal untuk punya daya juang. Karena banyak orang tua yang merasa akan hidup selamanya dan mampu melindungi serta menjamin kehidupan anak-anaknya. 

Padahal daya juang itulah yang nantinya akan membentuk dia seutuhnya. Tak mudah menyerah saat segalanya menyimpang dari harapan, tak mudah ditaklukkan oleh keadaan-keadaan yang tak terduga.

Lihat bagaimana Kahlil Gibran menuliskan tentang anak. Sebagai pengingat bagi orang tua yang suka memaksakan kehendak pada anaknya.

Anakmu Bukanlah Milikmu

 Anakmu bukanlah milikmu,

Mereka adalah putra putri sang Hidup,

Yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat engkau,

Tetapi bukan dari engkau,

Mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Berikanlah mereka kasih sayangmu,

Namun jangan sodorkan pemikiranmu,

Sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.

Patut kau berikan rumah bagi raganya,

Namun tidak bagi jiwanya,

Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,

Yang tiada dapat kau kunjungi,

Sekalipun dalam mimpimu.

Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,

Namun jangan membuat mereka menyerupaimu,

Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,

Ataupun tenggelam ke masa lampau.

Engkaulah busur asal anakmu,

Anak panah hidup, melesat pergi.

Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,

Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,

Hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.

Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,

Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,

Sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun