Minggu lalu, saya mendampingi seorang sahabat yang baru di vonis kanker. Bukan hal yang baru bagi saya, karena sudah beberapa kali saya  melakukan pendampingan pada penderita kanker, dari anak-anak hingga dewasa. Semua berawal dari sakitnya ibu mertua dulu yang terlambat tahu dengan kanker yang dideritanya.
Sahabat saya ini cukup luar biasa menerima vonis kankernya. Sebelum dia menjalani pemeriksaan, dia yang merasakan kelainan di payudaranya, sudah banyak googling dan mencari tahu segala hal lewat orang-orang yang pernah mengalaminya. Begini cerita yang dia sampaikan kepada saya.
"Saat sakit pertama, aku berusaha menahan dan berprasangka sebagai bagian dari hormon yang berfluktuasi layaknya perempuan lain. Namun begitu meningkat rasa sakit itu dengan disertai bengkak dan demam, aku mulai mencari informasi. Sengaja aku menutupi semua itu dari keluarga dekat, terutama dengan ibu yang sudah tua.
Ketika sakit itu makin sering, aku yang sudah mendapatkan bayangan akan kemungkinan kanker, mencoba menata hatiku dulu. Tak perlu orang tahu bagaimana aku teteskan air mata kesakitanku. Semua aku bagi hanya pada Allah di penghujung malam. Aku memohon untuk diberi kekuatan lahir batin menerima apapun yang memang sudah digariskan untukku.
Aku pun melangkah untuk menjalani pemeriksaan setelah berkonsultasi dengan keluarga, terutama kakak-kakakku. Dan saat hasilnya kuterima, kembali aku menata hati bersama doa yang tak henti aku lantunkan. Sempat aku melihat kekhawatiran mereka, namun aku tak boleh jatuh mengasihani diri sendiri.
'Ibu mau kabar baik atau kabar baik sekali'begitu kata dokter sore itu. Aku menjawab setenang mungkin,'Apapun kabar yang dibawa dokter, saya sudah siap.' Dan mengalirlah kalimat-kalimat tentang kanker payudara dengan jenisnya, stadiumnya, dan segala cara pengobatannya. Aku mendengarkan semua dengan saksama, sementara yang mendampingiku tampak lebih terkejut dibandingkan aku.
Tentu saja setelah itu, seluruh saudara kandung dan ibuku mengetahuinya. Aku melihat begitu cepatnya rona kasihan, khawatir dan sejenisnya muncul. Namun aku tak mau ikut larut dengan 'permainan' yang sudah aku duga sebelumnya. Aku harus jauh lebih kuat dari mereka."
Hanya dua hari setelah vonis, sahabat saya sudah siap menjalani operasi mastektomi. Operasi yang berjalan selama dua jam tersebut, lancar dan tanpa hambatan sedikit pun. Sahabat saya siuman dan kembali masuk kamar perawatan bersama kantung darah yang menggantung di sisi lengannya.
Esoknya, ketika saya mengunjungi, tak hendak bicara apa pun selain membicarakan hal lain diluar sakitnya. Kami bercanda dan menikmati makanan yang berlimpah di kamar rumah sakit, buah tangan para pengunjungnya. Dari nasi bungkus untuk penunggu, hingga buah-buahan.
Senang sekali melihatnya doyan makan seusai operasi. Wajahnya terlihat bahagia melihat para sahabatnya berkumpul memberi semangat tanpa membicarakan sakitnya. Berbeda dengan pengunjung lain yang sebagaimana kebiasaan kebanyakan orang kita, bicaranya selalu berkisar'sakit apa?' lalu ngoceh tentang pengobatan alternatif dan penderita yang ada di keluarganya yang begini dan begitu. Bukan memberi penghiburan dan kekuatan, terkesan makin membuat stress yang sakit.
Beruntung sahabat saya tak menanggapi semua itu.
"Aku tak peduli mereka bicara apa. Aku sudah putuskan untuk menjalani pengobatan yang disarankan dokter," begitu katanya. Saya suka dengan keteguhan hatinya. Walau ibunya sempat terpengaruh dengan pembicaraan mereka tentang pengobatan alternatif, dengan tenang dia tolak tegas semuanya.
Begitulah kebiasaan kebanyakan orang kita. Menjenguk orang sakit dengan memberi 'beban' baru dengan segala obrolan yang dia sendiri belum tentu paham, atau ikut menjalankan. Kata orang begini, kata orang begitu. Dulu pun saya sempat sebal dengan pengunjung ibu mertua yang seperti itu.
Banyak orang bilang bahwa kanker begini dan begitu. Bahwa sakitnya luar biasa dan membuat banyak penderita yang berteriak-teriak karena tak tahan, dan lain sebagainya. Yang saya lihat selama ini entah kenapa selalu manusia dengan ketabahan yang luar biasa.
Ibu mertua yang tak sekali pun mengucap'aduh', pun kakak perempuan saya yang lebih banyak berdzikir saat menderita kanker. Juga seorang anak yang pernah mengatakan pada saya,"Ibu, apa benar jika sakit itu adalah pelebur dosa?"
Saya mengangguk sembari menahan isak tangis melihat matanya yang terkena kanker.
"Kalau begitu, aku tak mau menangis lagi, aku mau tersenyum karena dosaku terus dihapus. Aku bisa masuk surga nanti"
Satu minggu setelah pertemuan itu, anak lelaki kecil itu menutup mata untuk selamanya.
Saya ikut pulang dan menemani sahabat saya di rumahnya selama beberapa hari usai operasi, di penghujung malam melihatnya terbangun dan bermunajat nikmat di kamarnya sambil masih menenteng kantung darahnya.
"Doakan aku ya," bisikku.
"Tentu saja," jawabnya.
Masih banyak yang tak memahami, bahwa doa orang yang sedang sakit itu lebih makbul dari yang mengunjunginya atau yang sehat. Dia menikmati ujung malam hingga subuh sembari mengaji.
Beberapa tahun lalu, pernah saya melihat pasien yang berteriak-teriak kesakitan. Hingga harus disuntik morfin. Dan saat pengaruh morfin itu habis, kembali dia berteriak hingga lelah dan ketiduran. begitu seterusnya hingga dia akhirnya meninggal dunia.
Tak semua manusia memahami hakikat sakit. Tak semua manusia tahan pada kesakitan yang dia derita. Sehat yang harusnya dijaga, baru disadari betapa berharganya setelah sakit melanda.
Segala yang dikejar penuh ambisi, hingga lalaikan banyak hal, tak lagi berguna saat sakit datang, terlebih bila berujung pada ajal. Harta, kedudukan dan selain amal kebajikan, tak akan mampu menolong kita menghadapi ajal.
Sakit atau pun sehat, kematian selalu mengintai kita. Tak ada lagi nasihat terbaik, selain untuk terus berbuat kebaikan sepanjang nafas ada bersama kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H