"Aku tak peduli mereka bicara apa. Aku sudah putuskan untuk menjalani pengobatan yang disarankan dokter," begitu katanya. Saya suka dengan keteguhan hatinya. Walau ibunya sempat terpengaruh dengan pembicaraan mereka tentang pengobatan alternatif, dengan tenang dia tolak tegas semuanya.
Begitulah kebiasaan kebanyakan orang kita. Menjenguk orang sakit dengan memberi 'beban' baru dengan segala obrolan yang dia sendiri belum tentu paham, atau ikut menjalankan. Kata orang begini, kata orang begitu. Dulu pun saya sempat sebal dengan pengunjung ibu mertua yang seperti itu.
Banyak orang bilang bahwa kanker begini dan begitu. Bahwa sakitnya luar biasa dan membuat banyak penderita yang berteriak-teriak karena tak tahan, dan lain sebagainya. Yang saya lihat selama ini entah kenapa selalu manusia dengan ketabahan yang luar biasa.
Ibu mertua yang tak sekali pun mengucap'aduh', pun kakak perempuan saya yang lebih banyak berdzikir saat menderita kanker. Juga seorang anak yang pernah mengatakan pada saya,"Ibu, apa benar jika sakit itu adalah pelebur dosa?"
Saya mengangguk sembari menahan isak tangis melihat matanya yang terkena kanker.
"Kalau begitu, aku tak mau menangis lagi, aku mau tersenyum karena dosaku terus dihapus. Aku bisa masuk surga nanti"
Satu minggu setelah pertemuan itu, anak lelaki kecil itu menutup mata untuk selamanya.
Saya ikut pulang dan menemani sahabat saya di rumahnya selama beberapa hari usai operasi, di penghujung malam melihatnya terbangun dan bermunajat nikmat di kamarnya sambil masih menenteng kantung darahnya.
"Doakan aku ya," bisikku.
"Tentu saja," jawabnya.
Masih banyak yang tak memahami, bahwa doa orang yang sedang sakit itu lebih makbul dari yang mengunjunginya atau yang sehat. Dia menikmati ujung malam hingga subuh sembari mengaji.