Kebanyakan orang suka sekali membekali ilmu dunia sebanyak-banyaknya pada anak-anaknya. Menganggap ilmu dunia itu menjanjikan lebih banyak keuntungan dibanding dengan ilmu agama atau akhiratnya. Berlomba menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik, memberikan tambahan pelajaran terbaik, memfasihkan anaknya dengan bahasa dunia dan sebagainya. Tak ada yang salah dengan semua itu.
Sementara ilmu akhirat tak disertakan untuk dipelajari, mengabaikan kitab suci yang hanya dijadikan pajangan di rak hingga berdebu. Akhirnya menurun pada anaknya yang nanti mendasari kehidupannya untuk hal duniawi semata. Agama betul-betul hanya tertera di kartu identitas tanpa makna.
Beberapa waktu lalu, terjadi sedikit kehebohan di sekitar saya tinggal. Seorang yang dulu seolah hartanya tak akan bisa habis karena kekayaannya, jatuh semiskin-miskinnya bahkan juga punya hutang yang tak sedikit. Tetangga yang dulu sangat memuja mereka sebagai keluarga yang harmonis dan ideal, berubah jadi menjauh dari mereka. Itulah realitas.
Itulah kenapa saya tak begitu heran akan betapa banyaknya orang yang takut miskin setelah meraih kekayaan hingga segala macam cara untuk mempertahankan kekayaannya dilakukan. Tak lagi peduli akan dosa atau siapa yang dirugikan.
Sebagai orang yang tak mudah percaya kabar burung alias gossip, saya mencoba mencari tahu yang namanya kebenaran. Kakaknya seolah tak peduli dengan apa yang menimpa adik kandungnya. Itu saja sudah makin membuat saya sedikit 'bingung'. Hingga entah bagaimana kebenaran itu mendekati saya hanya karena pertemuan tak disengaja di sebuah tempat saat saya berada diluar kota.
Tanpa saya tanya apapun yang bersangkutan bercerita sendiri. Bukan bermaksud berghibah, namun semoga apa yang terjadi pada yang bersangkutan, sebut saja sebagai Fulan bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua.
"Selama ini saya menganggap bahwa hidup saya dalam jalan yang benar. Saya bekerja keras untuk bisa membahagiakan istri dan keluarga saya. Kedua mertua yang ikut saya atas permintaan istri tentu saya anggap sebagai orangtua yang juga wajib saya pelihara. Orangtua kandung saya tak menampakkan keberatan sama sekali saat saya memelihara kedua mertua saya. Istri saya mengatakan bahwa surga itu ada dibawah telapak kaki ibu, jadi dia ingin berbakti pada ibu dan ayahnya dengan cara membawa serta mereka. Dia perempuan satu-satunya dari 4 bersaudara, juga anak bungsu. Semua kakak lelakinya sudah berkeluarga namun tak ada yang mau memelihara kedua orangtuanya dengan alasan istrinya keberatan. Mereka tak mau keluarganya berantakan karena kehadiran orangtuanya.
Tak lama, ayah saya wafat. Ibu yang sendirian akhirnya saya suruh ikut kakak perempuan saya. Rumah orangtua kami sepakati untuk dijual dan dibagi rata hasilnya pada semua anaknya. Rumah saya dan kakak berdekatan, hingga saya bisa melihat ibu kapan saja.
Entah bagaimana, istri saya tampak keberatan saya memberi perhatian pada ibu kandung saya, hingga sering saya dihalangi untuk menengok ibu. Tentu saja kakak perempuan saya marah. Dan saya yang memang sangat cinta istri menurut saja dengan kemauannya. Keluarga sayapun mulai menjauh dari saya.
Hingga ibu yang memang sabar dan pendiam seperti tahu konflik kami walau tanpa kata. Ibu akhirnya mulai pikun, namun sering memanggil nama saya. Sayangnya saya makin jarang menengoknya karena takut istri saya. Â Singkat cerita saya memang hanya diinginkan mengurus keluarga istri saya saja, yang saat itu juga bapaknya sudah pikun.
Saya merasa semua normal, toh sama-sama merawat orangtua. Kakak saya memelihara ibu, saya memelihara mertua. Hingga akhirnya ibu saya meninggal dunia.