Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Surga Itu Kau Abaikan

23 Desember 2017   13:46 Diperbarui: 23 Desember 2017   13:54 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebanyakan orang suka sekali membekali ilmu dunia sebanyak-banyaknya pada anak-anaknya. Menganggap ilmu dunia itu menjanjikan lebih banyak keuntungan dibanding dengan ilmu agama atau akhiratnya. Berlomba menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik, memberikan tambahan pelajaran terbaik, memfasihkan anaknya dengan bahasa dunia dan sebagainya. Tak ada yang salah dengan semua itu.

Sementara ilmu akhirat tak disertakan untuk dipelajari, mengabaikan kitab suci yang hanya dijadikan pajangan di rak hingga berdebu. Akhirnya menurun pada anaknya yang nanti mendasari kehidupannya untuk hal duniawi semata. Agama betul-betul hanya tertera di kartu identitas tanpa makna.

Beberapa waktu lalu, terjadi sedikit kehebohan di sekitar saya tinggal. Seorang yang dulu seolah hartanya tak akan bisa habis karena kekayaannya, jatuh semiskin-miskinnya bahkan juga punya hutang yang tak sedikit. Tetangga yang dulu sangat memuja mereka sebagai keluarga yang harmonis dan ideal, berubah jadi menjauh dari mereka. Itulah realitas.

Itulah kenapa saya tak begitu heran akan betapa banyaknya orang yang takut miskin setelah meraih kekayaan hingga segala macam cara untuk mempertahankan kekayaannya dilakukan. Tak lagi peduli akan dosa atau siapa yang dirugikan.

Sebagai orang yang tak mudah percaya kabar burung alias gossip, saya mencoba mencari tahu yang namanya kebenaran. Kakaknya seolah tak peduli dengan apa yang menimpa adik kandungnya. Itu saja sudah makin membuat saya sedikit 'bingung'. Hingga entah bagaimana kebenaran itu mendekati saya hanya karena pertemuan tak disengaja di sebuah tempat saat saya berada diluar kota.

Tanpa saya tanya apapun yang bersangkutan bercerita sendiri. Bukan bermaksud berghibah, namun semoga apa yang terjadi pada yang bersangkutan, sebut saja sebagai Fulan bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua.

"Selama ini saya menganggap bahwa hidup saya dalam jalan yang benar. Saya bekerja keras untuk bisa membahagiakan istri dan keluarga saya. Kedua mertua yang ikut saya atas permintaan istri tentu saya anggap sebagai orangtua yang juga wajib saya pelihara. Orangtua kandung saya tak menampakkan keberatan sama sekali saat saya memelihara kedua mertua saya. Istri saya mengatakan bahwa surga itu ada dibawah telapak kaki ibu, jadi dia ingin berbakti pada ibu dan ayahnya dengan cara membawa serta mereka. Dia perempuan satu-satunya dari 4 bersaudara, juga anak bungsu. Semua kakak lelakinya sudah berkeluarga namun tak ada yang mau memelihara kedua orangtuanya dengan alasan istrinya keberatan. Mereka tak mau keluarganya berantakan karena kehadiran orangtuanya.

Tak lama, ayah saya wafat. Ibu yang sendirian akhirnya saya suruh ikut kakak perempuan saya. Rumah orangtua kami sepakati untuk dijual dan dibagi rata hasilnya pada semua anaknya. Rumah saya dan kakak berdekatan, hingga saya bisa melihat ibu kapan saja.

Entah bagaimana, istri saya tampak keberatan saya memberi perhatian pada ibu kandung saya, hingga sering saya dihalangi untuk menengok ibu. Tentu saja kakak perempuan saya marah. Dan saya yang memang sangat cinta istri menurut saja dengan kemauannya. Keluarga sayapun mulai menjauh dari saya.

Hingga ibu yang memang sabar dan pendiam seperti tahu konflik kami walau tanpa kata. Ibu akhirnya mulai pikun, namun sering memanggil nama saya. Sayangnya saya makin jarang menengoknya karena takut istri saya.  Singkat cerita saya memang hanya diinginkan mengurus keluarga istri saya saja, yang saat itu juga bapaknya sudah pikun.

Saya merasa semua normal, toh sama-sama merawat orangtua. Kakak saya memelihara ibu, saya memelihara mertua. Hingga akhirnya ibu saya meninggal dunia.

Tak lama setelah ibu saya wafat, kurang lebih dua tahun sesudahnya, kehidupan saya mulai berubah. Istri tiba-tiba sakit serius yang butuh banyak dana untuk berobat. Segala proyek mulai ribet, sementara tak satupun yang mau merawat istri selain saya. Anak-anak saya tetap sibuk dengan kuliah dan kegiatannya. Saya yang memang tak tegaan, betul-betul tak mampu marah melihat semuanya sibuk sendiri.

Sementara istri yang terlanjur suka dengan pujian sebagai keluarga harmonis dan ideal, tak pernah mau dirawat diruang selain VIP. Padahal sekali berobat bisa cukup lama. Karena proyek yang makin ribet, otomatis segalanya mulai seret. Satu persatu asset kami jual. Masih berlabel gengsi, istri tetap minta dirawat di VIP. Hingga akhirnya saya yang sudah 'ga enak hati' pada keluarga sendiri, terlibat hutang dengan rentenir. Taruhannya rumah kami satu-satunya yang tersisa, karena yang dua sudah terjual.

Seorang kawan lama sempat memberitahu pengobatan herbal pada seorang ahli, sayangnya sudah terlambat. Sehari setelah dikunjungi ahli herbal itu, istri saya wafat. Memang, keluarga saya datang melayat, tanpa rasa, sebagai basa-basi. Sementara itu saya diberi batas waktu 6 bulan saja untuk melunasi hutang oleh sang rentenir. Jika tidak, maka rumah itu akan jadi miliknya. Sementara ada lagi hutang ditempat lain yang juga menunggu pelunasannya.

Dalam keadaan terombang-ambing, seorang kawan lama banyak menasehati saya untuk kembali pada Allah. Saya yang memang selama ini sibuk dengan dunia, tak pernah menggubrisnya. Diapun berhenti menasehati saya setelah saya bentak dia.

Saya masih merasa yakin akan bisa meneruskan proyek dan mendapat proyek baru dengan pengalaman saya selama puluhan tahun. Sayangnya, semua tampak buntu adanya. Tak seorangpun yang peduli atau kasihan pada saya. Entah bagaimana dunia yang dulunya ramah, seperti tak lagi mengenali saya. Tentu saja akhirnya saya terusir dari rumah yang sudah saya tinggali selama hampir seperempat abad. Mertua saya kembalikan kepada anak lelakinya. Saya hidup dengan memaksakan diri terus berhutang karena ada dua anak saya yang terus merengek lanjutkan kuliah karena gengsi.

Akhirnya saya jatuh dalam situasi yang tak terbayangkan. Anak-anak diambil kakak saya, dan saya pergi ke kota lain mencari peluang proyek yang mungkin ada untuk saya. Namun hingga satu tahun saya terlunta-lunta dan hidup dalam belas kasihan orang, bahkan untuk makanpun saya tak mampu.

Saya mencari teman yang dulu menasehati saya untuk kembali ke Allah. Namun dia seperti menghilang, dan sungguh saya sangat menyesalinya. Karena hanya dia yang berani berkata jujur walau sangat menyakitkan saat itu bagi saya.

Dia berkata bahwa kekayaan saya dulu adalah istidraj, ujian Allah bagi saya yang memang lalai. Menganggap mampu punya segalanya dengan mengandalkan gelar akademik dan kecerdasan saya. Mengabaikan peran Allah. Bagi saya agama itu nanti saja saat sudah tua. Teman saya juga bilang, bahwa saya kualat pada ibu kandung saya yang saya abaikan, sementara mertua saya agungkan bahkan saya biayai pergi berhaji. Orangtua kandung saya pergi berhaji dengan uangnya sendiri hasil penjualan rumahnya.

Teman saya bilang, pahami bahasa diam seorang ibu, bukan saat ibumu bersuara dengan kecerewetannya, karena saat seorang ibu memilih diam, itu artinya hatinya sudah sangat tersakiti, sangat kecewa. Kebodohan saya pada agama, membuat saya tak tahu bahwa memelihara orangtua kandung, terlebih ibu adalah kewajiban anak lelaki, bukan anak perempuan. Bahwa seberapa banyakpun harta anak lelaki semua adalah milik ibu kandungnya. Ibu kandungnya lebih berhak daripada istri, apalagi dari mertua.

Saya juga baru tahu bahwa surga seorang perempuan ada pada suaminya. Ternyata selama ini, kami hidup dalam kebodohan ilmu agama yang membuat kami jatuh terperosok. Membolak balik hukum Allah seenak sendiri.

Kakak sempat bercerita betapa seringnya ibu saya memanggil nama saya karena rindu, namun saya tak pernah datang, hingga ibu saya sering melamun dan menangis sendiri karena saya tak pernah menengoknya.

Saya baru sadar betapa teman saya itu mengatakan kebenaran adanya. Saya memang salah dan abai pada ibu karena kepatuhan saya pada istri dan mertua saya. Begitu cintanya saya pada istri hingga takut kehilangannya bila saya tak patuh padanya. Sungguh, kedunguan yang luar biasa sebagai anak dari seorang ibu yang baik. Istrilah yang selama ini jadi imam di keluarga karena dia yang memutuskan segalanya. Dan itu terjadi juga karena kebodohan saya membiarkannya.

Hampir semua orang mengatakan bahwa ini semua akibat dosa saya mengabaikan ibu kandung saya, termasuk kakak dan adik saya. Sudah beruntung saya, karena kakak masih mau menampung anak saya. Sementara saya bahkan untuk pulang saja tak punya ongkos. Saya tidur disebuah gudang perusahaan yang sudah kosong. Beralas tikar tua seadanya. Makanpun kadang diberi satpam yang berjaga disana.

Saya tak lagi tahu bagaimana meminta maaf pada ibu yang sudah terkubur lama. Saya juga tak lagi tahu bagaimana saya hadapi hari-hari didepan. Semua tampak buntu. Semua tampak gelap. Bahkan saat saya ingin belajar agama, seperti ada penghalang yang luar biasa. "

Sepanjang bercerita, entah berapa kali dia mengusap air matanya, hingga usaipun masih basah pipinya.  Tubuh gempalnya telah hilang, tinggal tulang berbalut kulit. Wajah tampannya telah berubah jadi kuyuh dan tua. Kulit bersihnya telah legam.

Saya tak mampu berkata apapun. Karena saya juga seorang ibu dari anak yang semuanya lelaki. Saya tahu betul rasanya diabaikan anak yang kita sayang itu sakitnya luar biasa. Dan saya juga tahu betapa diam itu bagi seorang ibu memang harus dilakukan karena takut mulut kita tak terkontrol dan menjadi kutukan buat anak sendiri. Baru saya sadari betapa agungnya seorang ibu. Tanpa bersuarapun kesedihannya di dengar Allah. Menyakitinya seperti mengundang kegelapan hidup.

Ingatlah selalu wahai lelaki, ibumu diatas istrimu! Jangan butakan rasa cintamu pada kebenaran yang hakiki.

Ibumu.. Ibumu.. Ibumu.. baru ayahmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun