Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berawal dari Kegabutan

16 Desember 2017   05:12 Diperbarui: 16 Desember 2017   08:23 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagian Muslim tentu tahu, bahwa tak ada yang patut dipenjara begitu lama selain lidah. Mungkin sekarang bisa jadi juga  jemari kita yang begitu rajin menulis di media sosial dan media massa tentang segala hal.

Jika ada nasihat,"Bicaralah yang baik atau diam" maka kini bisa pula dirangkai dengan menulislah yang baik atau gunakan tanganmu untuk hal lain yang lebih bermanfaat.

Entah kenapa sebagian besar orang kita menganggap biasa meneruskan pembicaraannya dengan siapa saja kepada orang lain. Alasan mereka karena itu bukan rahasia. Jadi jika mau bicara rahasia, mereka merasa harus diberi tahu dengan prolog,"Ssst, ini rahasia lho! Jangan bilang siapa-siapa!"

Nantinya prolog ini berlanjut jadi prolog kepada yang lain. Dan akhirnya tetap tak ada rahasia. Coba lihat di media sosial atau grup chatting. Betapa banyak yang terbiasa membuat screenshot percakapannya untuk disebar kemanapun yang dia suka, termasuk ke media sosial. Jika itu diperlukan untuk dijadikan sebuah bukti, tak ada masalah. Namun jika dijadikan hal untuk menebar hal lain, atau pamer dan sebagainya, maka sama artinya dia berghibah.

Kebiasaan meneruskan percakapan orang lain adalah awal dari kebiasaan berghibah yang terus di tumbuhkan. Dianggap biasa dan tak merasa berdosa sedikitpun karena toh banyak yang melakukannya. Begitulah kilah mereka. Menjadikan jumlah sebagai patokan kebenaran sebenarnya menandakan betapa dangkal cara berpikirnya.

Mereka yang hidup memuja jumlah untuk suatu pembenaran, yang hidup untuk menyenangkan banyak orang, juga mereka yang merasa tak mampu hidup tanpa punya banyak teman. Average people! Karena menurut penelitian, orang yang sangat cerdas sangat sedikit temannya. Mereka sangat berhati-hati menjaga pergaulannya, terlebih untuk mengungkap apapun sisi kehidupannya.

Ghibah. Ribuan nasehat bertebaran tentang bahayanya, dosanya, resikonya hingga di akhirat, namun tetap dilakukan. Berhias dengan segala cara dan rupa. Dengan awal yang memikat agar menimbulkan keingin tahuan cerita berikutnya yang berujung dengan penghakiman sebagai kesimpulan.

Lihat bagaimana ghibah sudah jadi bagian keseharian, baik lelaki maupun perempuan. Dari desa hingga kota, dari yang tinggal di kampung hingga di perumahan elite, dari yang merasa alim hingga yang tidak. 

Semua susah menutup mulutnya, susah memenjarakan lidahnya. Meskipun tahu rasanya bila jadi bahan ghibah ataupun di nyinyirin itu tak enak, namun banyak yang terus melakukannya.

Semua berawal dari kegabutan. Penyakit malas dan mau enaknya saja jadi bagian keseharian yang dinikmati.

Orang yang diam, orang yang banyak menghindari keramaian dianggap aneh atau sombong. Ghibah memang nikmat, karena setan yang membuat semua tampak indah. Memperlihatkan begitu jelas kekurangan orang lain, menutup segala kekurangan diri sendiri hingga timbul penyakit ke'merasa'an yang tinggi. 

Merasa paling cantik, paling cerdas, paling benar dan paling hebat hingga juga merasa punya hak untuk menghakimi orang lain.

Banyak yang tak sadar, bahwa ghibah inilah yang akan menghapus segala amal baiknya. Menjegalnya menuju surga, dan jadi dosa jariyahnya karena dia yang mulai menebar berita yang belum tentu kebenarannya. Jika yang menyebar ribuan, bayangkan sendiri bagaimana ribuan orang ini meneruskan dosa hingga ke ribuan yang lain. Mengalir tanpa henti.

Sementara yang di ghibah, bersyukurlah! Tak perlu bersusah payah anda akan mendapatkan pahala yang banyak dari orang-orang yang mengghibah anda. Tak perlu marah apalagi mendendam. 

Woles aja, kata anak jaman now. Sekalipun akhirnya tahu siapa yang menebar semua. Maafkan saja walau dia tak meminta maaf, agar menambah amalan baik dan bersihkan hati kita.

Tanpa kebersihan hati ini, jalan menuju Surga akan sulit di daki. Yakinlah bahwa Allah akan memberi balasan dengan cara yang terbaik. Ingat, Allah Maha Teliti. Tak satupun yang tak tercatat, kebaikan ataupun keburukan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun