Selain itu, usia tidak bisa dijadikan tolak ukur kebenaran, sebab usia seseorang tidak menjamin perilakunya terpuji. Pasalnya, dalam kehidupan sehari-hari kita masih sering menyaksikan orang yang lebih tua tidak mampu memberi keteladanan.
Dengan dalih usia yang lebih tua, orang yang lebih muda usianya harus memaklumi tingkah laku orang yang lebih tua. Meskipun memperlihatkan perilaku yang kurang terpuji.
Ungkapan yang paling sering diutarakan "saya duluan makan garam dari pada kamu", dan ucapan lain semisalnya. Muaranya tentu menunjukkan orang yang lebih muda tidak berhak menunjukkan nilai yang benar kepada yang lebih tua.
Dalam perubahan nilai luhur sekali pun, generasi muda selalu menjadi sasaran kambing hitam perilaku moral yang kurang terpuji. Â
Kita pasti sering mendengar ucapan "anak-anak sekarang moralnya sangat rendah". Tidak ada tata krama, dan seterusnya.
Lalu kemudian muncul pertanyaan, "Bukankah kerusakan moral yang terjadi diakibatkan karena kurangnya keteladanan yang diberikan orang lebih tua? Bak kata pepatah "guru kencing berdiri, murid kencing berlari".
Menghormati yang lebih tua merupakan tradisi baik yang harus dipertahankan. Itu sebabnya, orang yang lebih tua seharusnya lebih terbuka, bukan memaksakan segala sesuatu yang tidak benar.
Harus diingat, satu keteladanan lebih baik daripada seribu nasihat.
Tingkah laku dan sopan santun yang baik selayaknya ditunjukkan terlebih dahulu sebelum memberikan nasihat kepada orang lain.
Sebagai kesimpulan, usia seringkali digunakan sebagai faktor legitimasi kebenaran, kita harus mempertimbangkan bahwa faktor ini sendiri tidaklah cukup. Kita harus memandang kebenaran melalui berbagai aspek seperti pengetahuan, pengalaman, dan pemikiran kritis. Hal ini penting agar kita dapat menghargai kontribusi dari berbagai generasi dan menciptakan budaya inklusif dan adil.